Menyesap Kopi Ameng dan Singapura

Menyesap Kopi Ameng dan Singapura

Warga Belakang Padang menikmati kopi pagi di bawah pohon beringin Kedai Kopi Ameng. (Foto: Ajang Nurdin)

TAK ada sinar mentari yang menarik untuk dipandang di tepi pantai Belakang Padang di pagi itu. Hanya mendung hitam masih menebarkan gerimis ditingkahi angin yang menggelitik dedaunan hingga menggeliat ke sana ke mari. Gelombang ombak lautan di antara Pulau Belakang Padang dan Pulau Sambu pun masih berjumpalitan seperti meriang.

Sebagian penduduk pulau yang dihuni sekitar 20 ribu jiwa itu mulai beraktivitas. Di antaranya ada yang membuka toko-toko yang berjejer di kiri-kanan jalan utama pulau ini. Ada juga yang menarik gerobak barang. Para penarik becak setia duduk di dalam becaknya menanti penumpang.

Kami memilih mencari kedai kopi untuk mengaliri kerongkongan yang sudah asam akibat mulut yang setengah jam terkatub, juga mengisi perut yang mulai bertingkah. “Kita ke warung kopi Ameng saja, saya dengar ini sangat terkenal di Belakang Padang,” kata Zuhri yang juga Ketua AJI Batam ini.

Seorang warga yang melintas di gerbang Pelabuhan Rakyat menunjuk ke arah kanan. “Cuma berjarak seratus meter sudah ketemu warung itu,” katanya. Kami pun berjalan sesuai petunjuk, dan kami pun berhenti tepat di depan kedai yang bertuliskan “Cofe Shop Double Peach”.

Dua beringin tua yang akarnya menjuntai-juntai mengapit halaman depan kedai yang memakan tiga pintu ruko. Ada beberapa meja tersusun rapi di bawah pohon. Beberapa orang separuh baya duduk mengitari meja. Mereka bicara politik sambil membolak-balik koran lokal.

Bertiga kami memilih meja di pojok ruangan dekat dapur kopi. Setelah memesan tiga gelas kopi, Zuhri yang memang sudah banyak mengenal tokoh-tokoh masyarakat di Kepulauan Riau ini berinisiatif menelepon salah satu seorang di antaranya.

Tak lama kemudian datanglah seorang pria setengah baya. Berkulit coklat, ia mengenakan kacamata dan peci. Amir Kasim, nama pria berusia 51 tahun ini. Ia adalah Lurah Sekanak Raya, Belakang Padang. “Ini kopi terbaik di sini. Bahkan gubernur (Gubernur Kepri Nurdin Basirun) pun sering minum di sini,” katanya sambil memesan secangkir kopi dan seporsi roti selai.

“Saya perkenalkan pemiliknya ya?” Ia memanggil seorang pria bermata sipit. Berperawakan mungil, rambutnya kelihatan malas bertumbuh sehingga jarang-jarang sampai terlihat kulit kepala.  Bernama lengkap Bua Tiong Alamin, ia pedagang yang ramah dan murah senyum. Akrab disapa Ameng, usianya sudah 52 tahun. “Saya merantau ke Belakang Padang sejak 1979, setahun kemudian saya buka warung kopi di sini,” katanya.

Ia datang ke Belakang Padang sebab tertarik dengan cerita-cerita yang didengarnya. “Dekat dengan Singapura, dan mudahnya cari rezeki di sini,” kata Ameng.

Ketika masuk ke Belakang Padang, ia melihat pulau ini sudah penuh dinamika. Itu disebabkan ramainya kapal-kapal asing yang singgah di sini. “Bahkan kami bebas keluar masuk Singapura tanpa perlu memakai paspor,” kata Ameng sambil menunjuk arah Singapura. Sekarang sudah tidak bisa begitu lagi, harus pakai paspor jika menyeberang ke Singapura.

Ituah sebabnya, segala kebutuhan warga yang tinggal di Pulau Belakang Padang ini akhirnya memang datang dari Singapura dan Malaysia. “Waktu itu, kelihatan wajar-wajar saja. Tak ada niat lain bagi penduduk di sini, selain hanya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari,” Lurah Sekanak Amir Kasim menimpali pembicaraan.

Cerita kemudian berbelok ke soal langkanya sembako setelah pasokan terhambat karena ditangkapnya kapal-kapal yang mengangkut sembako dari Malaysia. “Tapi Pemerintah Kota Batam sudah mengatasinya,” kata Amir lagi. Dari Batam memang ada kabar sudah mulai memasok pasokan sembako ke Belakang Padang dengan harga yang stabil.

Selanjutnya cerita beralih ke kopi Ameng. “Saya mengambil biji kopi dari Tanjung Batu, lalu mengolahnya sendiri di sini. Sedangkan airnya saya ambil dari Batam kemudian mengolahnya lagi di sini. Kopi yang kami racik dengan air yang kami olah sendiri, itulah kombinasi kopi ini,” kata Ameng.

Lalu kenapa nama kedainya Cofe Shop Double Peach. “Merk susu yang saya gunakan dari awal hingga sekarang ini adalah double peach. Jadi saya gunakan nama itu untuk nama kedai ini,” kata Ameng.

Kedai ini memang selalu ramai. Dari pagi, hingga hampir petang tak pernah sepi pengunjung. Ketika ditanya berapa pendapatannya sebulan, Ameng menjawabnya dengan senyuman rahasia. Hm..***

  1. Mengarungi Punggung Laut Penawar Rindu
  2. Menyesap Kopi Ameng dan Singapura
  3. Legenda Bocah Dihukum Mati di Batu Berantai
  4. Berkeliling Pulau Penawar Rindu


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews