Mitos Merantau ke BATAM, Bila Anda Tiba Anda Menyesal?

Mitos Merantau ke BATAM, Bila Anda Tiba Anda Menyesal?

Seorang wanita berfoto di depan landmark kota Batam (Foto: Ist/Batamnews)

BATAM, Bila Anda Tiba Anda Menyesal. Bila Anda Tiba Amoy Menunggu. Bila Anda Tabah Anda Menang... 

Begitulah plesetan dan guyonan warga Batam tentang merantau ke Batam, dengan mengartikan singkatan Batam.

Plesetan Bila Anda Tabah Anda Menang, bagi orang yang optimis. Bagi yang pesimis, Bila Anda Tiba Anda Menyesal. Namun ada juga yang memplesetkan dengan candaan, Bila Anda Tiba Amoy Menanti.

Ada-ada saja...

Batam memang dihuni berbagai macam etnik. Mulai dari, Jawa, Melayu, Batak, Bugis, Minang, hingga Tionghoa. Tidak dapat dipungkiri lebih 90 persen warga Batam adalah para perantau. 

Batam identik dengan kota industri. Puluhan kawasan industri dengan ratusan ribu pekerja berada di Batam. Tak heran, Batam menjadi destinasi para pencari kerja untuk mengadu peruntungan. 

Namun mengadu nasib di Batam memang tak semudah yang dibayangkan. Kendati banyak peluang namun banyak yang memutuskan kembali pulang. Peluang terbesar di Batam hanya sebatas operator kasar di pabrik-pabrik. Sedangkan tenaga ahli kerap diisi ekspatriat. Kalau pun ada penduduk lokal hanya sedikit.

Belum lagi biaya hidup di Batam yang cukup tinggi. Bahkan hasil survei BPS beberapa tahun lalu biaya hidup di Batam mencapai Rp 6 juta per bulan. Batam juga termasuk kota dengan biaya hidup termahal.

Kehidupan di Batam memang terbilang cukup keras. Di Batam apa-apa uang. Bahkan dahulu untuk masuk ke Batam orang terkadang mesti membayar ke petugas Perdaduk dan lebih mahal lagi melalui calo.

Baca juga:

Putus Asa di Batam, Ova: Saya Balik Kampung Aja, Cari Kerja di Batam Susah...

 

Batam dahulu menerapkan Perda Kependudukan. Tidak semua orang bisa masuk ke Batam. Kalau pun masuk harus ada jaminan dari pihak keluarga. Bagi yang ingin bekerja harus memiliki skill.

Kendati demikian mencari kerja di Batam pada periode tahun 1990 hingga tahun 2000 masih terbilang mudah. Bahkan para calon pekerja bisa memilih-milih di mana mereka hendak bekerja

“Bahkan sekuriti perusahaan sampai mengejar-ngejar orang yang lewat di depan perusahaan untuk merekrut orang,” ujar seorang warga Batam yang sudah tinggal sejak sekitar tahun 1990-an di Batam.

Bahkan saking mudahnya, para buruh pun dengan gampang berpindah-pindah perusahaan. Tak cocok di perusahaan yang satu, loncat lagi ke perusahaan lain.

Tak heran lantas sejumlah perusahaan di Batam lebih memilih mencari pekerja dari luar Batam. Mendatangkannya melalui pengerah jasa tenaga kerja. Tujuannya agar tidak repot terus-terusan melakukan perekrutan.

Para pekerja yang didatangkan itu untuk kelas operator. Kebanyakan wanita. Mereka kemudian ditampung di mess atau dormitory. Dormitory ini masih bisa  dijumpai di Kawasan Industri Mukakuning. 

Itu dahulu. Berbeda kondisinya saat ini. Pengangguran melonjak. Perusahan tutup. Kondisi ekonomi yang tak menentu dan kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat semakin membuat kondisi semakin parah.

Bahkan terkadang, lowongan kerja untuk 10 orang saja, bisa diperebutkan ribuan orang. Kondisi ini bisa terlihat di sejumlah kawasan industri di Batam, terutama di Batamindo.

Baca juga:

Ekonomi Batam Genting, Ribuan Orang Eksodus

 

Bahkan ribuan orang yang putus asa dengan hidup di Batam memutuskan balik kampung dan tak kembali lagi. Sejumlah pengusaha juga menjerit. Investasi makin sulit. Lahan pun kian terbatas. Belum lagi birokrasi dan pungli yang membelit-belit.

Perhatian pemerintah pun terhadap permasalah itu sepertinya tidak ada. Belum ada kebijakan-kebijakan yang dianggap pro rakyat atau pro pengusaha. Alih-alih hendak mempermudah investasi dan memberikan kemakmuran kepada rakyat, yang ada pemerintah di Batam berlomba-lomba menaikkan segala kebutuhan.

Mulai dari tarif listrik, tarif air, tarif pelabuhan, tarif sewa di bandara, belum lagi pajak-pajak lainnya. Semakin hari para pemangku kepentingan semakin mencekik leher warga Batam.

Mulai dari BP Batam, Pemko Batam, hingga Pemerintah Provinsi Kepri tak ketinggalan terus meraup untung dari kantong-kantong rakyat yang menipis. Tak peduli tinggal tulang, toh di dalam tulang masih ada sumsum yang lezat.

Bukan begitu? 

Warga Batam pun seolah-olah sengaja hendak diusir keberadaannya. Memang dahulu BJ Habibie mengkonsep Batam bukan untuk permukiman. Batam harus berbasis ekonomi dan perdagangan serta bisnis. 

Hanya saja seiring perjalanan waktu Batam pun salah urus. Justru lembaga yang dahulunya dipimpin BJ Habibie itu sendiri yang memberikan lahan seluas-luasnya bagi para pengembang untuk permukiman. 

Padahal harapan Habibie, permukiman di Batam seharusnya berbentuk vertikal bukan lagi berbentuk perumahan. Batam salah urus. Belum lagi lahan-lahan di Batam yang menjadi ajang pesta para calo dan oknum pejabat di BP Batam, untuk diperjualbelikan.

Cukup membayar UWTO, mereka bisa untung puluhan miliar. Saat ini, BP Batam melalui Kepala BP Batam Hatanto Reksodipoetro, mati-matian membenahi itu. Namun misi itu bak misi Tom Cruise di Film Box Office "Mission Impossible" alias misi yang sangat sulit terwujud.

Apalagi para pemilik lahan di Batam bukan warga kecil yang gampang diusir-usir dengan menggunakan Ditpam atau Satpol PP dan Polisi, tapi mereka kebanyakan adalah para pengusaha besar dan berpengaruh, baik di Batam maupun di pusat sana.

Bahkan sekelas Menteri Kemaritiman Luhut B Panjaitan disebut-sebut juga memiliki lahan di Nongsa. Tak heran Luhut setiap ke Batam selalu mampir ke sana meskipun tupoksinya adalah Kemaritiman.

Belum lagi lahan-lahan di seputaran Kecamatan Sekupang yang dikuasai para petinggi-petinggi penegak hukum mulai dari kopral hingga jenderal. Tak usah bicara lahan di Barelang yang sudah dikapling-kapling sejumlah pihak meskipun masih berstatus quo. 

Namun demikian, niat BP Batam membenahi Batam dari kehancuran patut kita hargai. Meskipun hingga kini niat tersebut belum tampak terwujud. Justru yang terlihat perseteruan antar lembaga di Batam semakin kental.

Pemko Batam dan BP Batam kerap tak sejalan dan sepemikiran. Masing-masing dengan egonya masing-masing. Masyarakat pun dibuat bingung. Pengusaha pun kelimpungan. Investor hengkang ke negara jiran yang lebih menjanjikan.

Kita yang kerap bersorak sorai benci akan komunis, justru membuat para investor semakin mantap berduyun-duyun berinvetasi ke negara komunis seperti Vietnam dan China. Di negara komunis barangkali jauh lebih nyaman. Tak ada demo dan sorak sorai berlebihan. Sudah tak terhitung berapa investor yang mengalihkan investasi ke Vietnam atau pun negeri tirai bambu China.

Kalau dahulu Batam diplesetkan Bila Anda Tabah Anda Menang (BATAM), apakah sekarang masih berlaku mitos tersebut?

“Saya sudah tabah, tapi tak menang-menang, malah sekarang KO.” Ujar seorang warga Batam menanggapi hal itu baru-baru ini.

 

Parah memang…

 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews