Yusril: Harga Minyak Turun, Pemerintah Malah Pungli Rakyat Sendiri

Yusril: Harga Minyak Turun, Pemerintah Malah Pungli Rakyat Sendiri

Yusril Ihza Mahendra. (foto: ist/gatra)

BATAMNEWS.CO.ID, Jakarta - Harga minyak mentah dunia terus mengalami penurunan sepanjang 2015 hingga menyentuh USD36 per barel. Penurunan harga minyak mentah ini diprediksi akan terus berlangsung pada 2016 mendatang.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, pemerintah saat ini sangat terbebani dengan penurunan harga minyak mentah dunia.

Pasalnya, pemerintah memproyeksikan harga jual minyak mentah dunia sebesar USD60 per barel dalam APBN 2015. Prediksi ini telah memberikan gap yang besar pada ruang fiskal karena harga minyak mentah dunia yang justru konsisten berada di bawah USD50 per barel. Kegiatan eksplorasi pun dihentikan oleh beberapa perusahaan tambang minyak dalam negeri.

Di tengah penurunan harga minyak dunia ini, pemerintah membuat kebijakan yang cukup mengejutkan publik, yaitu melakukan “pungutan liar” terhadap masyarakat pada setiap pembelian BBM jenis Premium dan Solar dengan melakukan pungutan dana ketahanan energi.

Memang, pemerintah telah terbebani dengan beban fiskal akibat penurunan harga BBM, namun pemerintah dinilai tak seharusnya membebankan masyarakat dengan pungutan dana ketahanan energi ditengah pelemahan ekonomi yang terjadi.

Mengapa kebijakan ini dianggap sebagai pungutan liar?

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, pemerintah terlalu dini mengeluarkan kebijakan dalam pemungutan dana ketahanan energi. Pasalnya, pemerintah belum memiliki payung hukum yang jelas untuk memungut dana tersebut dari masyarakat sehingga dianggap sebagai pungutan yang ilegal.

“Kebijakan ini memang baik. Tapi payung hukumnya belum ada. Pemerintah tidak bisa melakukan pemungutan ini karena seharusnya diskusi dulu dengan DPR untuk membentuk payung hukum,” ujar Komaidi dilansir okezone, Sabtu (26/12/2015).

Untuk itu, pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kembali pungutan dana ketahanan energi yang dibebankan sebesar Rp 200 untuk Premium dan Rp 300 untuk Solar setiap liter yang dijual.  
 
Hal senada diungkap pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Yusril mengatakan, pemerintah tidak bisa seenaknya menggunakan pasal 30 Undang-Undang Nomor 30/2007 tentang Energi untuk memungut dana masyarakat dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) untuk kepentingan penelitian energi baru dan terbarukan.

Yusril mengatakan, aturan undang-undang menyebut bahwa untuk kegiatan penelitian pemerintah harus menggunakan dana dari APBN, APBD dan swasta yang terlebih dahulu dianggarkan.

"Penganggaran tersebut dengan sendirinya harus dengan persetujuan DPR dan DPRD. Tidak ada norma apapun dalam pasal 30 Undang-Undang Energi yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada masyarakat konsumen BBM," katanya di Jakarta, Jumat (25/12).

Yusril menjelaskan, setiap pungutan kepada masyarakat harus masuk dalam kategori pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang lebih dulu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Apalagi, PP yang mengatur pasal 30 UU Energi tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan belum ada hingga kini.

"Menteri ESDM tidak bisa menjalankan suatu kebijakan pungutan BBM tanpa dasar hukum yang jelas, baik menyangkut besaran pungutan, mekanisme penggunaan dan pertanggungjawabannya," bebernya.

Yusril menilai, kebiasaan mengumumkan kebijakan tanpa dasar hukum seharusnya tidak dilakukan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Karena bertentangan dengan asas negara hukum yang dianut oleh UUD 1945. Lagipula, tidak pada tempatnya pemerintah memungut sesuatu dari rakyat selaku konsumen BBM.

"Dari zaman ke zaman pemerintah selalu memberikan subsidi BBM kepada rakyat. Bukan sebaliknya membebankan rakyat dengan pungutan untuk mengisi pundi-pundi pemerintah walau dengan dalih untuk kepentingan penelitian dan pengembangan energi," tegas Yusril.

(ind/bbs)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews