Ini Pasal-pasal RPP Pengupahan yang Ditolak Pekerja

Ini Pasal-pasal RPP Pengupahan yang Ditolak Pekerja

Riek Diah Pitaloka. (foto: ist/merdeka)

BATAMNEWS.CO.ID, Jakarta - Rancangan peraturan pemerintah (RPP) Pengupahan yang akan diterbitkan Presiden Jokowi, akan menyebabkan kemiskinan dan memunculkan ketidakadilan bagi buruh. Begitu pernyataan anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka.

"Batalkan dan tolak penerbitan RPP Pengupahan yang berwatak upah murah. Secara umum muatan RPP Pengupahan adalah untuk mewujudkan kebijakan upah murah yang akan berdampak merosotnya daya beli pekerja atau buruh dan menyebabkan kemiskinan. Kebijakan pengupahan seharusnya meninggalkan rezim upah murah dan didorong untuk mewujudkan upah yang lebih adil dan layak untuk pekerja dan keluarganya," kata Rieke dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (15/10/2015).

Menurut Rieke, dasar penolakan RPP Pengupahan dalam draft kebijakan ekonomi jilid IV tersebut substansinya mengatur beberapa hal krusial. Salah satunya jika ditinjau dalam Pasal 42 sampai 44 terkait upah minimun. Dalam Pasal 42, upah minimum diberlakukan untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun.

"Dengan aturan itu maka pekerja yang berkeluarga dengan masa kerja di bawah satu tahun bisa dikenakan upah minimum. Padahal dalam aturan sebelumnya menyebutkan upah minimum hanya untuk pekerja dengan masa kerja nol tahun atau lajang sedangkan untuk pekerja yang sudah berkeluarga tidak diatur," tuturnya.

Selain itu, pada Pasal 43 yang mengatur formula upah minimum. Akan tetapi tidak diatur secara jelas standarnya dan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri. Menurut Rieke, tanpa diatur secara baku formulanya akan rawan ditafsirkan sehingga ujungnya adalah besaran upah minimum yang rendah sebagaimana praktik selama ini.

Padahal menurutnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri pada saat pertemuan dengan pimpinan serikat pekerja atau serikat buruh pada 13 Oktober 2015 lalu, formula rumusan upah minimum yang diajukan pemerintah adalah (PDB + Inflasi Nasional (rata2) x (alfa : 0.1)) X UMK/P 2015.

"Jika dihitung perkiraan kenaikan upah minimum di kisaran 10 persen setiap tahunnya. Formula tersebut mengabaikan survei KHL yang selama ini sudah berjalan serta belum ada formula rumusan baku untuk pekerja yang berkeluarga maupun upah minimum sektoral," jelasnya.

Di sisi lain, pada Pasal 44 yang mengatur peninjauan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sekali terhadap komponen KHL, terlalu lama. Akibatkan komponen KHL menjadi tidak realistis dan menjadikan besaran upah menjadi kecil.

Sedangkan pada Pasal 14 terkait struktur dan skala upah, menurut Rieke, pekerja sulit mengetahui struktur dan skala upah yang berlaku di perusahaan. Hal tersebut karena tidak ada kewajiban terhadap perusahaan untuk menyampaikan laporan keuangan kepada pekerja maupun kewajiban memberitahukan data lengkap upah. Sehingga pengaturan sistem struktur dan skala upah yang makro tidak transparan bisa memunculkan kesenjangan upah antar pekerja sehingga berdampak pekerja yang bermasa kerja lebih dari satu tahun dan sudah berkeluarga akan digaji dengan standard upah minimum.

Selain itu Pasal 21, membolehkan pembayaran upah dengan mata uang asing. Bagi Rieke, pembayaran upah yang menggunakan mata uang selain rupiah menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan.

"Karena pekerja yang dibayar dengan mata uang rupiah nilainya akan lebih kecil daripada tenaga kerja asing yang dibayar dengan mata uang asing," tandasnya.

(ind/merdeka)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews