Catatan dari Sidang Dua Jurnalis Asing Bonner dan Prosser

Pantaskah Dua Jurnalis Inggris Dikurung 5 Tahun Penjara?

Pantaskah Dua Jurnalis Inggris Dikurung 5 Tahun Penjara?

Dua jurnalis asing asal Inggris Neil dan Becky Prosser bersama penerjemah saat sidang di Pengadilan Batam. (Foto: BATAMNEWS)

BATAMNEWS.CO.ID - Sidang dua jurnalis berkewarganegaraan Inggris, Niel Richard George Bonner dan Rebbeca Bernadette Margareth Prosser, terjerat kasus hukum di Batam Kepulauan Riau.

Keduanya kini menghadapi dakwaan UU Keimigrasian di Pengadilan Negeri Batam. Jurnalis yang bekerja untuk National Geographic itu kini terancam 5 tahun pidana penjara.

Keduanya ditangkap jajaran TNI AL pada 28 Mei 2015 lalu. Mereka bersama 9 orang warga negara Indonesia saat memproduksi film dokumenter tentang pembajakan kapal tanker di Selat Malaka.

Mereka ditangkap saat melakukan pengambilan gambar terakhir. "Waktu ditangkap kami sedang wawancara tapi itu setelah aksi tersebut di atas kapal," ujar Apson Kakahue, saksi dalam perkara pelanggaran UU Imigrasi tersebut.

Apson Kakahue saat memerankan settingan aksi perompakan itu bersama lima orang temannya.

Mereka memerankan bagaimana aksi perompakan terjadi di tengah laut di perairan Belakang Padang, Batam.

Apson diperiksa di depan majelis hakim di persidangan beberapa pekan lalu. Dalam persidangan, jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Batam, juga menghadirkan personel TNI AL, Rudi Amirudin.

Rudi ikut menangkap kedua jurnalis asing tersebut. Mereka turun setelah mendapat informasi beberapa hari sebelum pembuatan film dokumenter tersebut dilakukan.

bonner dan prosser 

Prosser dan Bonner (Foto: Bonner and Prosser Families via The Guardian)

"Kami mendapat informasi empat hari sebelumnya," ujar Rudi kepada hakim.

Dalam persidangan, terungkap kedua jurnalis memiliki penghubung bernama Zamira Lubis.

Fakta persidangan, Zamira berperan penting dalam kasus ini. Terungkap Zamira yang intens berhubungan dengan para pemeran film dokumenter.

"Termasuk memberikan honor kepada kami," kata Apson, saksi di persidangan. Segala sesuatunya, diatur oleh Zamira. "Beli nasi pun melalui Zamira," ujar Apson lagi.

Peran Zamira tampak menonjol. Ini terbukti melalui persidangan. Baik majelis hakim dan pengacara mencecar Apson terkait peran Zamira.

bonner 

Bonner (Foto: Batamnews)

Namun Zamira, yang disebut istri seorang aparat tersebut yang juga diketahui pernah menjadi wartawan, tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut.

"Saya juga nggak tahu kenapa tak dihadirkan menjadi saksi, tanya jaksa dong," ujar Indra Raharja, penasihat hukum Bonner dan Prosser.

Jaksa pun tak memberi alasan resmi mengenai tak menghadirkan Zamira. Saat ini persidangan masih berkutat mengenai keterangan saksi.

Memasuki persidangan ketiga pada Senin 5 Oktober 2015, jaksa penuntut menghadirkan penyidik Imigrasi Batam, Agus Wijaya.

Kepala Kantor Wilayah Imigrasi Batam Kepri yang berusia 52 tahun itu dihadirkan jaksa penuntut sebagai saksi ahli.

Kehadirannya sempat diprotes Aristo MA Pangaribuan, penasihat hukum Bonner dan Prosser.

Aristo menilai kehadiran Agus tidak tepat sebagai saksi ahli. Apalagi Agus merupakan penyidik di Imigrasi, di mana instansi yang memproses kedua jurnalis asal Inggris tersebut.

Aristo menyampaikan keberatannya kepada majelis hakim, namun ditolak. "Keberatan Yang Mulia, saksi tidak ada hubungannya dengan kasus ini," ucap Aristo saat menyampaikan protesnya.

Majelis Hakim bergeming. Argumen Aristo patah, termasuk soal argumennya mengenai konflik kepentingan Agus sebagai bagian dari instansi Imigrasi.

bonner 

"Dia dihadirkan sebagai saksi ahli, dengarkan saja," ujar ketua majelis hakim Wahyu Prasetyo terkesan mengacuhkan argumen Aristo.

Setali tiga uang dengan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum Bani Ginting, menilai kehadiran saksi sudah tepat.

Namun, Agung dalam kesempatan itu hanya bisa menjelaskan mengenai aturan hukum kunjungan warga negara asing ke Indonesia, termasuk soal visa, dan izin tinggal.

Ketika ditanya mengenai kaitan dengan tugas jurnalistik kedua terdakwa, Agus kelabakan.

Dalam sidang itu, jaksa menyiapkan sejumlah barang bukti berapa sebo, parang, serta handy cam, flash disc, perahu. "Perahunya ada tapi tak didatangkan," kata majelis hakim.

Bonner dan Prosser

Kasus dua jurnalis asing asal Inggris, Bonner dan Prosser, sudah berjalan cukup lama. Mereka sudah menjadi tersangka sejak 28 Mei lalu.

Bonner dan Prosser terlihat semakin kurus dan kuyu. Tentu saja, keduanya saat hadir ke persidangan diperlakukan sama seperti tahanan kriminal, diborgol dan menggunakan baju tahanan.

Prosser dalam sebuah persidangan terlihat menggunakan celana legging warna hitam, sedangkan Bonner menggunakan seperti celana gunung dan dilipat hingga hampir ke lutut.

Keduanya hanya menggunakan sandal jepit ke ruang sidang seperti tahanan lain. Mereka didampingi empat penasihat hukum dan seorang penerjemah.

Bonner dan Prosser saat ini terancam hukuman 5 tahun penjara. Keduanya didakwa Pasal 122 huruf a UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman 5 tahun pidana penjara dan denda Rp 500 juta.

Bonner dan Prosser sepanjang persidangan hanya terdiam. Apalagi mereka tak mengerti berbahasa Indonesia.

Mereka praktis hanya melongo saat persidangan berlangsung dan sesekali bertanya ke penerjemah berkerudung yang duduk di belakang mereka.

Menurut media Inggris, The Guardian, Bonner dan Prosser merupakan jurnalis yang bekerja untuk Wall Wall. Mereka saat itu mengerjakan proyek film dokumenter tersebut didanai National Geographic.

suwarjono 

Ketua AJI Indonesia Suwarjono (Foto: Twitter)

Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono, Bonner dan Prosser merupakan anggota Interntional Federation Journalis (IFJ). Dua jurnalis asing ini juga merupakan anggota National Union of Journalist di Inggris.

Ketua AJI Batam Muhammad Zuhri juga menyebutkan, peradilan kedua jurnalis itu terlalu berlebihan. Padahal kedua juranalis itu, bila memang terbukti menggunakan visa turis, bisa langsung dideportasi. "Tapi Imigrasi tak melakukan hal itu," ujar Zuhri dalam rilisnya.

Menurut Zuhri, peradilan terhadap keduanya terkesan dipaksakan. Apalagi dalam kasus yang sama, seperti kejahatan yang dilakukan warga negara Cina beberapa waktu lalu di Batam, justru dideportasi langsung ke negaranya.

"Padahal ratusan orang Cina itu merupakan pelaku kejahatan cyber crime yang beroperasi di Batam, dan menyalahi izin tinggal dan menggunakan visa turis, ini kan namanya dipaksakan,” ujar Zuhri.

Rencananya pada Kamis ini, kedua jurnalis tersebut, kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Batam.


[edo]


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews