Masa Depan Penerbangan Low Cost pasca JT 610

Masa Depan Penerbangan Low Cost pasca JT 610

Suyono Saputro (Foto: Batamnews)

Dunia penerbangan kembali berduka, ketika pesawat Boeing 737-Max 8 milik maskapai Lion Air bernomor JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang hilang kontak di atas perairan Tanjung Karawang, 13 menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta pada Senin, 29 Oktober lalu.

Ingatan publik pun kembali pada kejadian Adam Air 574 rute Surabaya– Manado yang diperkirakan tenggelam di kedalaman 2.000 meter perairan Majene, Sulawesi Barat pada 1 Januari 2007, dan Air Asia QZ8501 yang hilang kontak di Teluk Kumai, Kalimantan Tengah pada 28 Desember 2014 silam.

Hingga hari ini, kotak hitam Air Asia dan Adam Air belum bisa ditemukan, dan kita patut bersyukur kotak hitam Lion Air JT610 sudah berhasil diangkat dari dasar laut dan segera akan diinvestigasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Apa penyebab kejatuhan JT 610 memang masih simpang siur. Menurut manajemen Lion Air, pilot dan co-pilot yang membawa pesawat tersebut memiliki jam terbang yang lumayan tinggi, demikian juga pesawat yang dioperasikan merupakan pesawat keluaran 2018. Kementerian Perhubungan juga memastikan belasan pesawat Boeing 737-Max 8 yang beroperasi di Indonesia sudah mendapatkan izin laik terbang.

Tentu sebaiknya kita tidak berspekulasi mengenai penyebab kecelakaan itu, biarkan KNKT yang menjalankan fungsinya untuk menyelidiki isi kotak hitam sehingga diperoleh informasi dan bukti yang jelas mengenai penyebab kecelakaan tersebut.

Berbagai kejadian yang dialami maskapai penerbangan di Indonesia tentu menambah catatan buram mengenai tingkat keselamatan penerbangan, di tengah era persaingan penerbangan berbiaya murah atau low cost carrier (LCC).

Walau masih terlalu dini jika kita katakan kebijakan LCC ini berkorelasi dengan penurunan tingkat keselamatan penerbangan. Maskapai dan regulator tentu tidak akan serampangan mengorbankan nyawa ratusan penumpang dengan mengabaikan faktor keselamatan.

Lion Air sangat dikenal sebagai maskapai penerbangan berbiaya murah terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Saat ini Lion Air Group (Lion Air, Wings Air, dan Batik Air) menguasai 51% pangsa pasar penerbangan domestik (pada 2005 hanya 25%), mengalahkan Garuda Indonesia Group sebesar 33%.

Secara umum, bisnis penerbangan di Indonesia dikuasai oleh dua grup besar saja yaitu Lion Air Group dan Garuda Indonesia Group. Ekspansi mereka hingga ke negara tetangga (melalui Malindo Air dan Thai Lion Air) membuktikan bahwa Lion Air cukup disegani dengan pangsa pasar internasional sebesar 21%, setelah Garuda Indonesia 39% dan Air Asia X 36%.

Bukan itu saja, bagi perusahaan pembuat pesawat seperti Boeing dan Airbus, Lion Air juga termasuk konsumen prioritas yang sanggup membeli pesawat hingga ratusan unit senilai miliaran dolar. Aksi korporasi ini yang membuat Lion semakin eksis di pasar penerbangan domestik dan regional.

Strategi LCC

LCC merupakan strategi bisnis untuk menjangkau pasar penumpang semua kelas terutama pada saat low-season. Biaya murah bukan berarti mengabaikan standard keselamatan yang baku, namun mengurangi beberapa fitur layanan penerbangan yang biasa didapat pada penerbangan full-service, seperti meniadakan makanan on-board, diskon tiket, dan memaksimalkan rute-rute jarak pendek.

Untuk menutupi biaya dan diskon tersebut, biasanya maskapai menerapkan aturan berupa pembelian makanan di pesawat, pemilihan bangku, dan tambahan bagasi. Membatasi in-flight services namun patuh terhadap aturan keselamatan sebagaimana diatur dalam peraturan penerbangan IATA Operational Safety Audit dan Civil Aviation Safety Regulation (CASR).

Tentu bukan hal yang mudah bagi para maskapai untuk menjadi operator LCC, selain terbentur aturan keselamatan yang ketat mereka juga harus memastikan pelayanan tetap maksimal dengan menyediakan pesawat yang nyaman dan staf yang ramah.

Untuk menyediakan itu semua tentu butuh investasi yang tidak sedikit. Pilihan membeli pesawat bekas atau menyewa pesawat sunggu beresiko sehingga perusahaan harus bernegosiasi dengan pabrikan untuk membeli pesawat baru dengan harga yang bersaing.

Apalagi jika melihat kurs tukar Rupiah terhadap Dollar yang semakin tak pasti, memicu biaya operasional yang makin membengkak. Jika sudah seperti ini, apa porsi biaya perawatan pesawat menjadi korban? Penulis tidak ingin berandai-andai.

Pacific Southwest Airlines (PSA) asal Amerika Serikat menjadi pionir penerbangan biaya murah ini pada pertengahan tahun 1960-an. Keberhasilan PSA ditiru oleh Southwest Airlines ketika beroperasi pertama kali pada 1971.

Sejak itu, strategi LCC ini menyebar ke seluruh dunia termasuk Asia ketika beberapa perusahaan maskapai penerbangan reguler menawarkan tiket murah pada rute-rute pendek dan menengah. Tidak hanya itu, perusahaan induk juga membuat anak perusahaan yang khusus melayani penerbangan murah ini.

Air Asia merupakan contoh penerbangan murah dari Malaysia yang sukses menjadi the world best LCC pada 2018, dan beberapa tahun sebelumnya. Diikuti Jetstar, Indigo, PAL Express, Nok Air, Citilink, dan Spicejet.

Sampai dengan 2017, pangsa pasar LCC di Asia Selatan mencapai 57,2% dan di Asia Tenggara sebesar 52,6%. Sedangkan di Eropa terus merangkak naik menjadi 37,9% dan Amerika Utara 32,7%. Sesuai data ICAO, diprediksikan jumlah penumpang LCC akan terus melonjak dua kali lipat dari 3,5 miliar penumpang pada 2015 menjadi 7 miliar penumpang pada 2030. Untuk keseluruhan Asia, pangsa pasar LCC diperkirakan naik jadi 50% pada 2030.

Data ini tentu memberikan gambaran masa depan bisnis LCC yang kian cerah, termasuk di Indonesia. Negara dengan gugusan 17.000 pulau ini memberikan peluang bisnis yang prospektif khususnya penerbangan murah.

Indikator ekonomi nasional yang positif memberikan proyeksi pasar penerbangan akan makin bergairah hingga 2030 mendatang. Masih ada banyak wilayah yang berpotensi untuk menjadi rute baru, daya tarik pariwisata di hampir di seluruh wilayah, dan teknologi digital yang semakin memudahkan pembelian tiket pesawat secara daring.

Kementerian Perhubungan memprediksikan pada 2018 ini jumlah penumpang melonjak menjadi 140 juta penumpang dari 130 juta penumpang pada 2017. Pada beberapa tahun mendatang, jumlah penumpang akan tumbuh positif seiring penambahan rute baru.

Potensi ini yang menarik minat Vietnam Air untuk bersaing di pasar domestik bersama Air Asia, Lion Air, Citilink, dan NAM Air. Pasar yang gemuk, bonus demografi yang besar dan potensial, serta peluang rute baru, menjadi beberapa pertimbangan bagi para maskapai.

Maskapai berbenah

Isu keselamatan sudah menjadi kewajiban yang harus dipatuhi, sehingga perusahaan penerbangan tidak akan main-main. Nyawa menjadi taruhan, dan masa depan bisnis.

Sudah banyak contoh bisnis maskapai yang harus berakhir tragis akibat kecelakaan. Adam Air ketika mengalami kecelakaan pada 2007 di perairan Majene akhirnya tutup. Begitu juga bisnis Malaysia Airlines (MAS) yang terseok seok sejak hilangnya MH370 pada Maret 2014 dan MH17 yang ditembak jatuh pada Juli 2014 di dekat Ukraina.

Manajemen MAS (yang juga membawahi Firefly dan MASWings) terpaksa melakukan restrukturisasi dan pembenahan strategi bisnis agar kembali bersaing di pasar penerbangan regional pada 2015.

Perusahaan harus memiliki strategi untuk keluar dari krisis yang dipicu oleh persaingan bisnis maupun akibat kecelakaan penerbangan. Butuh upaya keras bagi maskapai untuk membenahi nama baik yang tercoreng akibat kelalaian yang berujung maut.

Publik sangat berharap manajemen Lion Air berupaya memperbaiki kualitas pelayanan dan standard keselamatannya. Pada satu sisi, keberadaan maskapai LCC ini sangat membantu mobilitas masyarakat dan memacu konektifitas antar wilayah sehingga tercipta pemerataan ekonomi.

Semoga kejadian JT-610 menjadi kecelakaan terakhir, tidak ada lagi pesawat dari maskapai manapun yang berakhir naas, menyisakan nestapa bagi keluarga korban, dan semakin memperburuk citra penerbangan dalam negeri.

Namun sekali lagi, kebutuhan pasar akan jasa penerbangan yang terjangkau bisa jadi pendorong bagi maskapai untuk bangkit memperbaiki keadaan dan memulai bisnis dengan tetap memperhatikan keselamatan para penumpangnya.

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kadin Provinsi Kepri, berdomisili di Batam


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews