Setelah Tsunami, Lalu...

Setelah Tsunami, Lalu...

"Untuk apa kami takut. Kami harus hadapi. Kalau takut nggak bisa makan keluarga kami. Karena tidak mungkin juga kami minta bantuan terus sama orang"


Masuk ke Kampung Lampuuk, Lhoknga, Aceh Besar, tak pernah terbayang kawasan ini pernah diterjang dahsyatnya gelombang tsunami hampir 14 tahun silam. Orang-orang bercengkerama di kedai-kedai kopi, kendaraan hilir mudik di jalan yang jembar memperlihatkan kampung ini hidup. Hanya hamparan lantai semen sisa-sisa reruntuhan rumah di kiri dan kanan jalan menuju kawasan Pantai Lhoknga yang menjadi pengingat kawasan ini pernah habis tersapu tsunami.

Situasi bertambah ramai ketika makin dekat ke pantai. Dari kejauhan sudah tampak sejumlah orang memanggil-manggil. Rupanya mereka pemilik warung ikan bakar yang mengajak pengunjung memarkir kendaraan dekat warung mereka. Ada kesepakatan tak tertulis bahwa pelancong harus memesan makanan di warung terdekat dengan lokasi parkir kendaraan.

Kawasan Pantai Lhoknga memang tempat wisata favorit bagi orang-orang dari kota Banda Aceh dan kawasan Aceh Besar. Letaknya sangat mudah dijangkau, hanya dengan waktu tempuh sekitar setengah jam dari ibukota provinsi, membuat Pantai Lhoknga jadi kawasan wisata primadona.

Berhadapan langsung berhadapan dengan Samudra Hindia, Pantai Lhoknga menjadi salah satu titik di daratan Aceh yang pertama digulung tsunami pada 26 Desember 2004. Pada hari itu, hanya tersisa bangunan Masjid Rahmatullah di Lampuuk yang tegak setelah tsunami lewat. Sisanya rata dengan tanah. "Tenda-tenda dan warung sekarang ini sama persis posisinya sebelum tsunami," ujar Jufri, salah seorang pemilik warung ikan bakar kepada detikX, Sabtu pekan lalu.

Satu sudut Banda Aceh pada 5 Januari 2005 (Getty Images)

 

Pada Minggu pagi di hari yang celaka itu, Jufri bergegas menuju pantai. Jarum jam baru menunjuk pukul 06.30. Tak ada pertanda, tak ada firasat apa pun di pikiran Jufri, kala itu berusia 23 tahun, hari itu akan datang sebuah bencana. Memang tugasnya setiap pagi membersihkan tenda-tenda warung ikan bakar milik keluarganya. Apalagi setiap akhir pekan jumlah tamu pasti membludak.

Biasanya Jufri dibantu ayahnya menyiapkan warung yang letaknya hanya sekitar 100 meter dari bibir pantai. Tapi hari itu ayah, ibu, dan saudara-saudaranya sedang berada di Medan, Sumatera Utara. "Mereka kebetulan lagi antar nenek yang mau berangkat naik haji," ujar Jufri.


"Karena semua hancur terpaksa kami bersih-bersih lagi. Saya pikir setelah itu tidak ada apa-apa lagi"


Baru saja pekerjaannya selesai, sekitar pukul 8 kurang satu menit, tiba-tiba tanah tempatnya berpijak bergoyang. "Saya ingat tiga kali goyangan kuat," kata Jufri. Kaca jendela warung miliknya hancur berantakan. Begitu juga dengan puluhan warung lainnya. "Karena semua hancur terpaksa kami bersih-bersih lagi. Saya pikir setelah itu tidak ada apa-apa lagi."

Selesai membersihkan pecahan kaca, Jufri bergegas mengambil motor. Maksudnya ingin menengok kondisi rumahnya di kampung yang hanya berjarak dua kilometer dari pantai. "Sampai di kampung, orang-orang sudah berada di luar rumah," katanya. Mengetahui rumahnya dalam kondisi baik, Jufri memutuskan kembali ke pantai.

Belum lagi berbelok masuk ke arah pantai terdengar teriakan. "Air laut naik, air laut naik," ujar Jufri menirukan suara dari arah pantai. Warga kampung Lampuuk panik. Mereka tunggang langgang berhembalang kebingungan, berlarian tak tentu arah asal menjauhi arah pantai. Ada yang menuju kota Banda Aceh, ada juga yang berlari menuju masjid naik ke kubah.

Salah satu sudut Banda Aceh pada Januari 2005 dan sepuluh tahun kemudian (Getty Images)

 

Jufri yang berboncengan dengan kawannya memutuskan melarikan motornya ke arah kota Banda Aceh. Dalam perjalanan ia masih sempat mengangkut dua balita bersaudara yang diserahkan orangtuanya untuk diselamatkan. "Pokoknya saya larikan motor sekencang-kenangnya sambil bunyikan klakson," kata Jufri.

Belum lagi masuk ke dalam kota Banda Aceh, dia melihat dari arah kota orang menuju ke arahnya. "Ternyata tsunami juga masuk ke kota," katanya. Jufri lantas berbalik dan mencari bukit yang paling dekat dengan jalan. "Untungnya di daerah Lampisang ada bukit. Kami semua naik ke situ," katanya.

Empat hari lamanya orang-orang bertahan di perbukitan tersebut, termasuk Jufri. Tiap pagi, mereka turun cari bantuan makanan lalu naik lagi. "Selalu ada terdengar cerita kalau air laut akan naik lagi," katanya. Baru hari kelima mereka berani turun ke posko pengungsian di sekitar masjid. "Saya baru ketemu keluarga seminggu setelah peristiwa itu."

Marzuki Yunus juga selamat dalam bencana tersebut. Yunus meninggalkan kampungnya hanya beberapa belas menit sebelum gempa terjadi. "Saya punya toko kelontong di kota Banda Aceh, pagi-pagi sudah ke sana untuk jualan," ujar Yunus. Dia belum sampai ke toko kelontongnya saat gempa terjadi. "Rumah-rumah kacanya hancur berantakan."

Tanpa pikir panjang Yunus memutar motornya kembali ke arah kampungnya. Pikirannya tertuju ke orang tuanya yang berada di rumah. Saat keluar dari jalan besar dan berbelok masuk ke jalan kampung, Yunus melihat orang-orang berlarian sambil berteriak air laut naik. Dia terpaksa kembali memutar motor menjauhi kampung. "Saya larikan motor ke perbukitan di Mata Ie," katanya. Saat masa konflik, menurut Yunus, perbukitan itu dikuasai prajurit Tentara Nasional Indonesia.

Satu keluarga tengah memanjatkan doa di lokasi pemakaman massal di Banda Aceh pada Desember 2014 (Getty Images)

 

Tiga hari lamanya Yunus berada di perbukitan. Setelah mengumpulkan keberanian, hari keempat dia memutuskan kembali ke Lampuuk. Hatinya hancur. Bangunan yang masih tegak berdiri hanya Masjid Rahmatullah. Semua rumah di kampungnya tak ada yang tersisa, termasuk rumah keluarganya yang berjarak 500 meter dari masjid. Sejumlah peneliti menyebut tinggi gelombang tsunami di Lhoknga mencapai 30 - 51 meter.

Ayah, ibu, dan tiga saudara kandungnya terseret gelombang. Hanya jenazah ayahnya yang berhasil dia temukan. "Sisanya sampai sekarang hilang. Mungkin dikebumikan massal karena sudah sulit dikenali," kata Yunus. Beberapa bulan kemudian muncul wacana seluruh warga kampung akan direlokasi ke kawasan dekat perbukitan. "Tapi kami berkeras tidak mau. Ini kampung halaman kami. Sayang juga mesjidnya yang masih berdiri tegak."


"Kesepakatan damai di Helsinki itu tak mungkin ada kalau tsunami tidak terjadi,"


Jufri dan keluarganya juga enggan meninggalkan Lampuuk. Setelah setahun bencana, Jufri kembali ke pantai. Dia membuka warung kecil-kecilan. "Cuma warung rokok dan kopi buat nelayan. Warung ikan masih dilarang," katanya. "Untuk apa kami takut. Kami harus hadapi. Kalau takut nggak bisa makan keluarga kami. Karena tidak mungkin juga kami minta bantuan terus sama orang. Semua kan perlu makan." Empat tahun kemudian, kata Jufri kawasan pantai kembali ramai dengan warung-warung ikan bakar.

Antropolog Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Reza Idria menuturkan bagi masyarakat Aceh bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada 2004 lalu semacam "berkah dalam kemalangan". Saat itu kondisi Aceh tak menentu terutama persoalan keamanan. Kontak senjata hampir setiap saat terjadi karena status darurat militer kemudian darurat sipil yang ditetapkan pemerintah pusat. "Untuk survive aja sudah oke. Tidak mati di jalan sudah bagus zaman itu. Mau kena peluru TNI atau GAM," ujarnya.

Reza yang sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Harvard, Amerika Serikat itu mengatakan bencana itu memaksa perubahan tatanan politik di tanah Aceh. "Kesepakatan damai di Helsinki itu tak mungkin ada kalau tsunami tidak terjadi," katanya. Hikmah di balik bencana ini kata Reza membuat orang-orang Aceh sedikit berbeda memaknai bencana besar yang terjadi di penghujung 2004 itu.

Secara kasat mata masyarakat Aceh memang tampak sudah pulih dari trauma dashyatnya bencana. Dimana-mana bermunculan kedai-kedai kopi dan selalu ramai. Kemacetan pun terjadi di pusat kota, terutama saat jam pulang kerja. Tapi Reza menampik jika orang Aceh layak disebut memiliki kemampuan daya tahan dan beradaptasi dengan bencana yang lebih baik. "Kalau dibilang orang Aceh lebih hebat menerima sebuah bencana ya tidak juga," ujar Reza.

Pasca bencana, setelah selesainya tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, Aceh menurut Reza justru kembali ke zaman sebelum bencana yang serba tertutup untuk dunia luar. "Politik sempit kini mengambil alih Aceh. Ada tendensi untuk menjadi eksklusif muncul lagi. Satu kelompok membawa narasi syariah Islam, kelompok lain membawa narasi identitas keacehan," katanya.

Padahal, kata Reza, saat masa penanganan bencana, bantuan berdatangan dari berbagai penjuru, dari dalam negeri maupun internasional. Bantuan yang sangat besar itu, kata Reza, datang atas dasar kemanusiaan dengan melihat bahwa orang Aceh adalah korban yang harus ditolong. Saat ini justru ada segelintir orang Aceh ingin membangun sekat-sekat baru yang membuatnya kembali terisolir dengan dunia luar.

"Waktu itu semua bantuan diterima dan dipakai untuk menjadi hidup lebih baik. Sekarang sedikit-sedikit tanya, dia siapa? Ada tembok-tembok baru yang dibentuk. Jadi hubungan antar manusia tidak jadi lebih baik," kata Reza.

 

Penulis: Pasti Liberti


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews