Jamu Kuat untuk Keperkasaan Rupiah!

Jamu Kuat untuk Keperkasaan Rupiah!

Suyono Saputro (Foto: Istimewa)

Selama sepekan ini dunia moneter diguncang oleh kemerosotan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS bahkan sudah menyentuh level Rp14.644 per dolar AS (per 15 Agustus 2018). Angka ini jelas mengkhawatirkan karena terburuk sejak era Reformasi bergulir pada 1998 lalu.

Berbagai spekulasi bermunculan dan bayangan menakutkan krisis moneter 1998 kembali terulang. Walaupun Bank Indonesia menyakinkan bahwa pelemahan nilai tukar ini tidak akan berdampak terhadap krisis karena fundamental ekonomi dan politik saat ini jauh lebih kuat dibandingkan 20 tahun lalu.

Informasi yang dihimpun, selama pekan lalu beberapa kejadian di pasar modal dan obligasi memang memicu pelemahan Rupiah, yaitu penarikan modal asing sebesar US$1,02 miliar dan menjadi capital outflow terbesar sejak November 2016 lalu dan pada saat yang sama, aksi jual investor asing di pasar modal mencapai US$186 juta.

Rupiah sebenarnya tidak menderita sendirian, sejak bulan lalu, nilai tukar Peso Filipina juga anjlok hingga titik terendah sejak Juli 2006, begitu juga mata uang Won Korea dan Rupee India, termasuk Lira Turki yang dianggap sebagai pemicu utama.

Pemerintah pun bergerak cepat, mengantisipasi kemerosotan yang semakin dalam, beberapa kebijakan segera digulirkan. Diantaranya menaikkan suku bungan acuan, mengerem laju impor barang, mengurangi penjualan komoditas ke luar negeri dan membawa hasil devisa ekspor untuk disimpan di perbankan dalam negeri.

Bank Indonesia pun bersiap menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate (BI7RRR) sekitar 25 basis poin menjadi 5,5% untuk menjaga volatilitas nilai tukar Rupiah semakin melebar sebagai dampak krisis ekonomi di Turki dan pelemahan mata uang beberapa negara.

Kenaikan BI7RRR ini diharapkan menarik minat perbankan untuk menyimpan dana melalui SBI dalam jangka waktu pendek sehingga Bank Indonesia semakin leluasa mengendalikan jumlah Rupiah yang beredar di pasar uang.

Mengurangi laju impor barang juga bukan hal yang gampang, mengingat ketergantungan industri domestik terhadap bahan baku impor juga masih tinggi, belum lagi barang konsumsi khususnya dari China juga tidak menunjukkan pengurangan. 

Data BPS terakhir, neraca perdagangan Indonesia kembali defisit hingga US$3 miliar, padahal ekspor secara kumulatif naik signifikan sebesar 11,35% pada Januari-Juli 2018 mencapai US$104,24 miliar dibandingkan periode yang sama 2017.

Sedangkan impor kumulatif naik lebih tinggi yaitu 24,48% pada Januari-Juli 2018 menjadi US$107,32 miliar dibandingkan 2017. Impor barang modal dan bahan baku naik masing-masing 24,8% dan 30,07%, namun barang konsumsi melonjak hingga 60,75%.

Begitu juga dengan substitusi impor dengan barang dalam negeri, mengingat ada beberapa industri yang memang belum memiliki tingkat kandung dalam negeri (TKDN) yang tinggi. Alhasil, kebijakan substitusi ini tidak efektif dilakukan dalam jangka pendek.

Keputusan pemerintah mengerem impor barang justru akan membuat stabilitas industri dalam negeri jadi terganggu karena angka statistik memang menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap barang impor belum memperlihatkan tanda-tanda penurunan.

Dalam jangka pendek, tidak ada harapan lain selain memperkuat kebijakan sektor moneter agar pasar uang dan bursa semakin menarik untuk menarik kembali modal asing masuk ke dalam negeri. Langkah BI bisa jadi efektif untuk menciptakan sentimen positif bagi investor pasar modal, dan disisi lain cadangan devisa juga harus dipelihara agar tidak tergerus oleh pelemahan Rupiah ini.

Namun yang perlu diwaspadai adalah kebijakan The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate terhadap stabilitas mata uang regional dan makin menguatkan perekonomian Amerika Serikat yang mendorong Dolar semakin perkasa di perdagangan dunia.

Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan harus konsisten mengimplementasikan strategi penguatan industri domestik yang potensial sebagai substitusi impor.

Sebagai contoh industri otomotif yang diklaim sudah mencapai 85% tentunya bisa dijadikan percontohan agar industri lain seperti elektronik dan turunannya bisa mencapai tingkat kandungan lokal yang sama.

Selain manufaktur, juga harus didorong penguatan industri kreatif agar lebih banyak produk lokal yang berkualitas dan mampu bersaing dengan produk konsumsi impor. Ini harus digalakkan agar kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri semakin tinggi.

Indonesia sudah saatnya mendorong ekspor barang bernilai tambah dan berdaya saing tinggi, agar tidak bergantung terus dengan ekspor komoditas mentah. Tapi ini butuh waktu panjang dan konsistensi yang tinggi.

Himbauan pemerintah agar komoditas tambang dikonsumsi di dalam negeri juga tidak sepenuhnya efektif karena tidak semua komoditas tersebut bisa terserap di pasar domestik. Contoh minyak dan gas, mungkin hanya Pertamina saja yang sanggup menjalankannya, sementara operator lain tentu punya pertimbangan lain.

Begitu juga membawa pulang Devisa Hasil Ekspor (DHE) harus dibarengi dengan insentif yang menarik bagi pelaku usaha sehingga mereka mau menyimpan devisa ekspor ke perbankan dalam negeri dan menukarkannya dalam mata uang Rupiah. Agar kebutuhan dolar untuk impor dan investasi bisa ditutupi dengan FDI dan ekspor.

Terakhir, pasar butuh keseriusan pemerintah dalam menjaga sentimen positif apalagi menjelang Pemilihan Presiden dan Legislatif 2019 mendatang. Walaupun kita berharap situasai tetap kondusif dan pertumbuhan ekonomi tetap positif, namun investor tampaknya akan memilih menunggu hingga terpilihnya pemimpin republik yang baru.

Semoga beberapa strategi pemerintah tersebut bisa menjadi jamu kuat untuk mengembalikan keperkasaan Rupiah!

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kadin Provinsi Kepri, berdomisili di Batam


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews