Transformasi KEK Batam dan Business Un-usual

Transformasi KEK Batam dan Business Un-usual

Suyono Saputro (Foto: Batamnews)

"Menyerahkan sepenuhnya kepada [pemerintah] pusat  untuk memutuskan", ujar Lukita Dinarsyah Tuwo, Kepala BP Batam dan Wakil Walikota Amsakar Achmad, kompak ketika memberikan tanggapan soal transformasi FTZ menuju KEK.

Penegasan itu seolah menjadi kesimpulan akhir acara forum diskusi yang digelar salah satu media cetak di Batam pekan lalu. Baik Lukita dan Amsakar terlihat tidak ingin berdebat panjang soal transformasi ini pada forum tersebut. Dalam paparannya, Lukita menegaskan BP Batam terus berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Triwulan I dan II tahun 2018 ini yang sudah mencapai 4% dengan meningkatkan pelayanan perizinan dan memperbanyak kegiatan kepariwisataan sehingga dapat berkontribusi dalam menyongsong pertumbuhan 7% hingga 2019 mendatang.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Amsakar, melalui program peningkatan kapasitas di beberapa ruas jalan utama, diharapkan mampu mendorong pertumbuhan dan peningkatan produktivitas masyarakat. Amsakar juga secara jujur menyampaikan seiring perjalanan waktu, problematika di kawasan bebas tidak lagi melulu soal ekonomi dan investasi, tapi sudah meluas hingga masalah sosial kemasyarakatan yang juga menuntut peran Pemko untuk terlibat. "Wilayah kewenangan kedua institusi ini sudah saatnya dipisahkan."

Namun sayang, forum itu kurang dalam mengeksplorasi problematika yang terjadi. Problem dualisme kewenangan ini menyimpan masalah pelik terutama bagi investor dan kelanjutan hubungan kelembagaan. Dualisme ini juga yang memaksa pemerintah pusat untuk menerapkan transformasi FTZ menjadi KEK dalam dua tahun ke depan karena jika kita tarik ke belakang, sebenarnya rencana ini sudah mengemuka sejak awal 2016 lalu.

Pada awal pergantian pucuk pimpinan BP Batam dari Mustofa Widjaja kepada Hatanto Reksodiputro, pemerintah sudah menegaskan akan segera melakukan perubahan konsep FTZ menjadi KEK. Upaya ke arah itu dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Dewan Kawasan PBPB/FTZ Batam pada tanggal 29 Februari 2016.

Dalam ketentuan tersebut ditetapkan Dewan Kawasan PBPB Batam diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Selain para menteri, susunan Dewan Kawasan juga memasukkan Gubernur Kepulauan Riau, Walikota Batam, dan Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau. Ketentuan itu sekaligus mencabut Keppres Nomor 18 Tahun 2013 mengenai pembentukan Dewan Kawasan PBPB Batam.

Kini bola transformasi digulirkan kembali ke pusat, baik BP dan Pemko tidak berdaya untuk melanjutkan prosesnya mengingat berbagai potensi konflik dan resistensi yang akan muncul pasca penerapan status baru tersebut.

Ini seperti mengembalikan ingatan saya pada Juni 2017 lalu saat rapat pembahasan KEK Batam di Sekretariat Dewan Nasional KEK di Jakarta. Rapat yang hadiri oleh Pemko dan BP Batam serta dipimpin Lukita yang masih menjabat Sekretaris Menko dan Kepala Sekretariat DN KEK itu, gagal merumuskan konsep KEK yang ideal.

Mungkin, itu sebabnya hingga kini belum pernah terdengar seperti apa konsep yang ditawarkan oleh Kemenko Perekonomian terkait rencana transformasi ini.

Saya sendiri tak begitu yakin pemerintah pusat memiliki cukup waktu merealisasikan transformasi KEK ini dalam waktu dekat, apalagi sudah masuk masa Pemilihan Presiden 2019. Selama beberapa bulan ke depan, konsentrasi para menteri teknis sepertinya akan terpecah.

Di tengah konstalasi politik nasional yang masih panas, rasanya kecil kemungkinan Presiden Jokowi mau mengambil langkah drastis mengesahkan aturan yang berpotensi kisruh. Para menteri pun akan berpikir dua kali untuk mengusulkan draft aturan presiden yang tidak populis.

Namun demikian, masalah harus dicarikan solusinya. Problem hubungan kelembagaan BP – Pemko ini sudah terlalu lama dibiarkan menggantung sejak tahun 2000 lalu. PP tentang hubungan kerja yang dianggap sebagai solusi pun kemungkinan tidak relevan lagi untuk saat ini.

Apakah transformasi KEK merupakan opsi yang paripurna untuk mengatasi problematika yang dihadapi oleh BP-Pemko Batam? Jawaban pasti ada di tangan pemerintah pusat.

Saya melihat, Batam perlu penyegaran dan penyempurnaan status kawasan. Perlu dicari model yang lebih ideal untuk menjawab tantangan dan persaingan hari ini dan masa datang. "Penyelesaian dengan pola business as usual tidak akan dapat meningkatkan daya saing Batam sebagai pusat perekonomian yang pernah unggul di kawasan regional," tegas Menko Darmin pada awal 2016 lalu.

Upaya penyegaran melalui transformasi FTZ ke KEK, atau mengoptimalkan status yang ada, semua harusnya berdasarkan hasil kajian manfaat dan mudaratnya. Karena apapun namanya, orientasi dari pemberian fasilitas ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi investor agar membangun pabrik  dan membuka lapangan kerja di Batam, bukan untuk menyuburkan penyelundupan atau praktek ekonomi ilegal lainnya.

Jika nanti keputusan Presiden sudah diterbitkan ternyata berbeda dengan harapan masing-masing pihak, baik Pemko dan BP Batam sepertinya sudah ikhlas. Tinggal bagaimana semua stakeholder bergandengan tangan melanjutkan kehidupan, membawa ekonomi Batam tumbuh lebih tinggi seperti masa keemasan pada 1990-an lalu.

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kadin Provinsi Kepri, berdomisili di Batam

 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews