Telur dan Anomali Dolar

Telur dan Anomali Dolar

Suyono (Foto: Istimewa)

Oleh: Suyono Saputro S.E., M.M.

Akademisi Universitas Internasional Batam dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kadin Provinsi Kepri, berdomisili di Batam

Bak pelari marathon, harga jual telur terus merangkak naik sejak bulan Ramadhan, Idul Fitri, hingga pasca momen lebaran. Harapan masyarakat harga kebutuhan pokok perlahan turun setelah Idul Fitri, justru tidak terjadi untuk komoditi telur.

Sampai dengan pekan ketiga Juli 2018 ini, harga satu papan telur di beberapa pasar tradisional di Batam sudah mencapai kisaran Rp41.000 hingga Rp47.000 bahkan ada yang sudah sampai Rp50.000 per papan, padahal biasanya harga per papan pada kisaran Rp25.000 – Rp30.000 saja.

Berbagai spekulasi menyeruak menyikapi fenomena yang tidak lazim ini. Sebagian pandangan menganggap ini faktor pasokan yang terbatas mengingat telur yang beredar di Batam mayoritas berasal dari Medan, Sumatera Utara dan selebihnya dari peternak lokal Batam.

Namun temuan tim Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Batam di salah satu gudang distributor membuktikan bahwa kenaikan harga bukan karena pasokan karena ternyata ratusan ribu butir telur siap edar justru mengendap di dalam gudang. 

Ada indikasi anomali harga telur ini memicu aksi spekulan untuk menimbun telur agar harga jualnya di pasaran semakin tidak terkendali. Ini sesuai prediksi saya, di tengah situasi ketidakstabilan harga komoditi kebutuhan pokok ini pasti ada oknum yang bermain dan memanfaatkan keadaan.

Kita abaikan persoalan pasokan karena diasumsikan pasokan telur ke Batam tidak mengalami hambatan, atau bisa dikatakan produksi telur secara nasional pun sebenarnya tidak menemui masalah berarti.

Data produksi telur nasional yang dihimpun oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menunjukkan angka produksi telur tahun 2018 sebesar 2.968.954 ton dengan jumlah konsumsi 2.766.760 ton atau kelebihan stok sebesar 202.195 ton. Untuk daging ayam juga sama, terjadi kelebihan stok sebanyak 517.819 ton dari produksi sebanyak 3.565.495 ton dengan konsumsi 3.047.676 ton.

Sama-sama kita ketahui bahwa telur dan daging ayam merupakan sumber protein hewani yang paling murah dan mudah diperoleh oleh masyarakat. Tingginya konsumsi kedua komoditas ini dapat dilihat dari data statistik yang dirilis oleh Kementerian Pertanian pada periode 2015-2016.

Data menunjukkan rata-rata konsumsi daging ayam perkapita penduduk Indonesia pada tahun 2016 sebesar 5,110 kilogram atau naik 6,1% dibandingkan tahun 2015 sebesar 4,797 kilogram, sedangkan konsumsi telur ayam ras sebanyak 99,79 butir per kapita per tahun atau naik 2,40% dibandingkan tahun 2015 sebesar 97,398 butir.

Kenaikan pola konsumsi masyarakat terhadap dua komoditi ini mengindikasikan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber asupan protein dari ayam dan telur, mengalahkan pola konsumsi susu dan daging yang cenderung stagnan dalam periode 2015-2016.

Nah, pertanyaan yang muncul justru ketika produksi tidak berkurang, mengapa harga telur secara nasional mengalami goncangan yang tidak lazim? Ini perlu ditelusuri secara lebih hati-hati agar tidak salah dalam mengambil sikap atau opsi kebijakan, baik oleh pemerintah pusat atau daerah.

Pertama yang harus kita pahami adalah rantai produksi ayam dan telur mulai dari hulu ke hilir dan komoditi pendukung produksinya, seperti pakan dan bahan baku pakan seperti jagung dan bungkil kedelei (soybean meal).

Untuk menghasilkan ayam petelur kualitas bagus maka dibutuhkan pakan yang juga berkualitas, begitu sebaliknya, jika kualitas pakan menurun maka produksi telur juga pasti menurun.

Saat ini harga bungkil kedelai di pasaran global naik hampir 25% menjadi US$441 per ton pada periode Januari-Mei 2018 dibandingkan harga periode 2017 sebesar US$367 per ton. Kontribusi bungkil kedelai sendiri terhadap formula pakan ternak lokal mencapai 20-30%.

Sementara itu penurunan produksi jagung- yang mayoritas dipasok dari dalam negeri juga menjadi kontributor utama kenaikan harga pakan karena komposisi jagung hampir 45%. Sehingga kelangkaan pasokan jagung dipastikan berdampak terhadap produksi pakan dan harga jualnya kepada peternak.

Mengingat bungkil kedelai sebagian besar masih diimpor maka keadaan semakin diperparah oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang sudah pasti memicu ongkos produksi semakin tinggi. Akibatnya kenaikan harga bahan baku pakan ini berkontribusi terhadap lonjakan harga pakan hingga 5-10%.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar sampai dengan tanggal 20 Juli 2018 lalu mencapai Rp14.540 per dolar. Kalangan analis belum bisa memastikan sampai kapan pelemahan ini akan terjadi dan tentu saja berdampak terhadap berbagai sektor ekonomi di dalam negeri, termasuk produksi pakan ternak.

Menyikapi kondisi ini, tentu perlu kehati-hatian memutuskan opsi paling jitu, karena kompleksitas permasalahan telur ini mulai dari produksi pakan, bahan bakunya, dan nilai tukar Rupiah  terhadap Dolar belum lagi ada bumbu kenaikan ongkos logistik untuk wilayah terpencil.

Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian harus memastikan produksi jagung nasional pada semester kedua 2018 ini tidak menurun terutama di sentra-sentra produksi jagung yaitu Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan NTB, disamping juga memaksimalkan produksi di daerah potensial lain seperti di Jawa dan Sumatera. 

Bisa jadi, dengan mahalnya harga pakan menyebabkan produksi telur secara nasional turut terpengaruh dan target produksi dalam beberapa bulan terakhir ini juga berpotensi turun. Sehingga pasokan telur di pasaran juga mengalami penurunan dan memicu ketidakseimbangan supply and demand.

Opsi impor jagung tentu perlu dipertimbangkan lebih matang karena kurs dolar yang sedang tidak bersahabat justru akan membuat harga jual bahan baku pakan ini semakin tidak terkendali. Sementara itu, kelancaran pasokan bahan baku pakan kepada produsen pakan ternak dan distribusi kepada peternak juga harus diperhatikan agar harga jual tidak dipermainkan oleh oknum spekulan.

Di level daerah, memang cenderung volatile terutama daerah-daerah kepulauan yang masih mengandalkan pasokan melalui jalur transportasi laut seperti Kepulauan Riau. Harga telur yang relatif tinggi di wilayah ini juga dipicu oleh pasokan yang sebagian besar mengandalkan dari luar Kepri.

Dengan asumsi kebutuhan telur penduduk sebanyak 100 butir per kapita pertahun, dengan total jiwa di Batam saat ini sekitar 1,5 juta orang maka kebutuhan telur di daerah ini diperkirakan mencapai 150 juta butir per tahun atau kira-kira 410.000 butir per hari atau rata-rata 20,5 ton per hari.

Produksi lokal Batam dan Bintan diperkirakan hanya mampu memenuhi sepertiga dari kebutuhan harian telur yaitu sekitar 8-9 ton per hari, sedangkan kekurangannya didatangkan dari Sumatera Utara kurang lebih 12-15 ton per hari dengan jadwal kedatangan dua hari sekali.

Sumut dipilih sebagai wilayah paling cepat untuk memasok telur selain sebagai salah satu lumbung telur nasional, rute kapal Pelni yang melayani Batam – Medan juga dinilai sebagai pendukung pasokan bisa dilakukan dalam jumlah besar.

Dipastikan kondisi pakan yang dipaparkan di atas turut dialami oleh peternak di Sumut sehingga kenaikan harga mulai dari tingkat peternak juga merembet hingga ke tingkat distributor dan pengecer.

Batam dan juga wilayah lain di Indonesia saat ini dalam keadaan siaga telur, seluruh elemen pemerintah daerah dibuat pusing oleh masalah telur yang tidak kunjung turun. Memang benar, ini bukan persoalan mudah. Operasi pasar hanya jadi pelipur lara sesaat, problem mendasarnya masih belum tersentuh.

Lantas apa langkah strategi yang perlu dilakukan? Saya mengusulkan empat skenario, pertama, pemerintah daerah mulai memikirkan rencana jangka panjang membuat sentra produksi telur di Kepri dengan memilih salah satu pulau yang paling siap untuk jadi tempat budidaya ayam petelur. Ini memang butuh waktu, tapi paling tidak sudah bisa dipikirkan mulai saat ini.

Kedua, memperluas wilayah operasi pasar terutama di kantong-kantong masyarakat berpenghasilan rendah di Batam agar program ini lebih tepat sasaran. Ketiga, memastikan jalur distribusi logistik tidak bermasalah dan dapat memicu penambahan harga komoditas semakin tinggi.

Opsi keempat mungkin paling berat direalisasikan tapi tidak tertutup kemungkinan untuk menjajaki kemungkinan impor telur dari negara terdekat yaitu Malaysia. Untuk memilih opsi ini tentu perlu kajian mendalam karena izin impor masih dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian.

Sebenarnya Batam dan Kepri berpotensi untuk memilih opsi impor ini karena selain produksi telur lokal yang terbatas, dan intensitas pengiriman yang masih mengandalkan domestik dengan problematika yang kompleks, tentunya impor telur dari Malaysia bisa mereduksi harga transportasi dan terhindar dari problem produksi. 

Sekali lagi ini perlu kajian mendalam dengan mempertimbangkan kondisi pasokan dan permintaan dalam negeri, jangan sampai opsi impor telur justru mengganggu pasar domestik apalagi jika telur impor ini merembes sampai jauh. Semoga masalah telur ini bisa segera teratasi!

(*)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews