Samuel Bonaparte: Urgensi Penegakan Aturan Keselamatan Pelayaran

Samuel Bonaparte: Urgensi Penegakan Aturan Keselamatan Pelayaran

Capt. Samuel Bonaparte Hutapea, A.Md., SE, SH, MH, M.Mar. (Foto: dok. pribadi)

Kapal Sinar Bangun sebagai penyeberangan di Danau Toba - Tapanuli Utara tenggelam pada 18 Juni 2018, sebelumnya juga kapal Arista di Makassar, tenggelam  pada 13 Juni 2018. Kedua insiden tersebut memakan korban jiwa dan menambah daftar panjang kecelakaan yang terjadi di laut Indonesia. Cukup tingginya kecelakaan di laut Indonesia semoga tidak menimbulkan perasaan “biasa” atas hal tersebut. Dahulu dunia tidak menganggapi serius masalah keselamatan di laut, hingga saat TITANIC pada 1912 tenggelam dan ribuan orang menjadi korban, barulah mata dunia terbelalak karena “mitos” atas TITANIC yang disebut sebagai kapal yang tidak mungkin tenggelam ternyata salah.

Atas martir TITANIC, lahirlah Safety of Life at Sea (SOLAS) yang juga diratifikasi Indonesia dengan KEPPRES 65 tahun 1980 dan juga termuat dalam Undang-Undang No 17 tahun 2008 (UU Pelayaran), ratifikasi Special Trade Passenger Ships Agreement 1971 dan Protokol 1973-nya, serta aturan lainnya hingga ratifikasi Protokol 1988 SOLAS melalui PP No 57 tahun 2017. SOLAS sebagai konvensi internasional tentang keselamatan di laut menjadi induk aturan keselamatan di laut di seluruh dunia yang harus dipenuhi oleh sebuah kapal, hal yang diatur termasuk keselamatan dalam navigasi pelayaran juga kewajiban tentang alat-alat keselamatan seperti Jaket Penyelamat (lifejacket) termasuk lifejacket untuk anak-anak, Pelampung Penyelamat (lifebuoy) dan Kapal/Rakit Penyelamat (lifeboat/liferaft) baik dalam ketentuan jumlah minimumnya juga keragaman fiturnya (misal dilengkapi dengan lampu dan/atau isyarat/sinyal asap, penomoran dan pemberian tanda/nama kapalnya, aiueo).

Dalam umumnya konvensi maritim, keberlakukannya tidak atas seluruh kapal dan tidak atas seluruh perairan, sehingga kapal-kapal tradisional atau perairan tertutup mungkin luput dari aturan tersebut secara langsung, dimana masing-masing negara dimungkinkan membuat aturan tersendiri atasnya. Akan tetapi senantiasa juga dikatakan dalam konvesi, bahwa aturan sendiri/khusus tersebut sedapat mungkin mengikuti konvensi. Bicara kecelakaan kapal di Indonesia tidak lepas dari tragedi TAMPOMAS 2 (1981) maupun KM LEVINA 1 (2007), kedua kapal tersebut bukan kapal tradisional dan tidak berlayar di perairan tertutup, sehingga keduanya tunduk secara keseluruhan pada konvensi, artinya bahaya keselamatan tidak hanya pada kapal tradisional atau pada perairan tertutup, tetapi juga pada kapal modern di laut.

Nakhoda bukan dewa Poseidon, sebagai seorang Nakhoda (juga), penulis perlu tegaskan bahwa kewenangan Nakhoda dibatasi oleh hukum dimana suatu kapal berada dan kebijakan perusahaan, untuk memindahkan lokasi sandar kapal sejauh 50 meter sekalipun, tidak dapat dilakukan oleh Nakhoda apabila tidak diberi izin oleh otoritas setempat. Jangankan untuk pengadaan alat keselamatan, satu kotak alat tulis pun tidak dapat diadakan tanpa persetujuan perusahaan. Pada umumnya dalam insiden serupa, Nakhoda cenderung menjadi “kambing hitam” yang paling mudah dijerat, kelalaian biasanya menjadi dugaan utama dalam hal ini, padahal dipenuhi atau tidaknya ketentuan/kewajiban atas kapal, termasuk ada atau tidak adanya alat keselamatan diatas kapal tidak menambah atau mengurangi pendapatan kru kapal 1 rupiah pun, ketiadaan atasnya secara logika sederhana tidak mungkin diinginkan kru kapal/Nakhoda.

Berdasarkan hukum, tanggungjawab keselamatan tidak bertumpu hanya pada satu orang/Nakhoda. Akan tetapi apabila terbukti ada oknum Nakhoda yang melakukan kesalahan  baik secara hukum maupun dalam penerapan standar profesinya, tentunya harus diberi sanksi  sesuai hukum yang berlaku termasuk oleh Mahkamah Pelayaran. Kewajiban pengawasan atas pemenuhan laiklaut kapal dan aspek keselamatannya sesuai UU pelayaran berada pada Negara termasuk kapasitas angkut suatu kapal dan terpenuhinya kewajiban asuransi (baik asuransi dalam maritim atau asuransi lainnya bagi para korban/konsumen).

Pada Pasal 333, UU Pelayaran, meluaskan pihak yang dapat dimintai pertangungjawaban, dimana pada pokoknya menyatakan bahwa tindak pidana di bidang pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja, baik sendiri maupun bersama-sama. Sehingga apabila dilakukan proses pidana, suatu insiden di kapal bisa jadi merupakan Tindak Pidana Korporasi, selain itu teori Penyertaan (Deelneming) juga perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan Pasal 55, 56, 57 KUHP (apakah perusahaan dan/atau Nakhoda dapat menentukan sendiri kelengkapan yang ada diatas kapalnya).

Janganlah kematian seorang kerabat menjadi sebuah tragedi mendalam bagi kita, akan tetapi matinya ribuan orang seakan hanya menjadi angka pada berita atau status yang kita viralkan. Kepulauan Riau sebagai miniatur Indonesia dimana kapal adalah transportasi utama yang menghubungkan lebih dari 2000 pulau-pulau didalamnya. Keselamatan adalah hal yang tidak dapat dikompromikan, otoritas terkait dalam pelayaran diharapkan tegas terhadap pelanggaran yang dapat membahayakan jiwa.

Jika ada kebaikan dalam saling menyalahkan, marilah kita berperkara dan saling menyalahkan, akan tetapi hal itu tidak akan mengembalikan nyawa saudara-saudara kita tersebut, tegakkan hukum demi manfaat, keadilan dan kepastian, mari kita berubah ke yang lebih baik lagi, sudah cukup korban berjatuhan, ratifikasi konvensi tanpa implementasi oleh seluruh pemegang kepentingan akan sia-sia saja. sebelum semakin terlambat, sekarang adalah saatnya, kita yang tentukan mau dibawa kemana arah dunia maritim Indonesia.

oleh: Capt. Samuel Bonaparte Hutapea, A.Md., SE, SH, MH, M.Mar.

Maritime Lawyer, Marine Consultant/Surveyor, Wakil Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia Perjuangan, Ketua Yayasan Bonaparte Indonesia dan Ketua Young Arbitration Practitioners of Indonesia


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews