Fakta Unik Pram

Mengenal Pramoedya Ananta Toer

Mengenal Pramoedya Ananta Toer

BATAMNEWS.CO.ID -Bagi generasi milenial mendengar nama Pramoedya Ananta Toer terasa asing sejak Buku Bumi Manusia akan di Filmkan. Bahkan beberapa waktu lalu tersebar ciutan di Twitter yang terkesan meremehkan sastrawan ini. Akun tersebut menganggap Pram begitu dia disapa sebagai penulis baru.

Biasakan membaca sebelum berkicau, mungkin bisa menghindari postingan-postingan yang menuai kecaman dari nitizen. Untuk itu kaum milenial sebaiknya perlu mengenal dulu siapa Pramoedya Ananta Toer. Batamnews merangkum dalam fakta menarik tentang Pram sebagai berikut.

Pramoedya merupakan pelopor sastra indonesia yang mempunyai karya yang mendunia dengan umur yang panjang, hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang sudah berusia ratusan tahun namun tetap dinikmati pencinta sastra.

1. Pendidikan

Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh.

Setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri. Sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).

Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik.

Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima.

2.Dianggap Sebagai Salah Sastrawan Terbaik di Indonesia

Lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Kota Blora, Pram merupakan pahlawan gerakan anti kolonial Indonesia, seorang pejuang Hak asasi manusia dan kebebasan berbicara.

Pada usia mudanya, dia bergabung dengan pejuang anti kolonial melawan Jepang selama perang dunia II dan kemudian terdaftar sebagai pasukan melawan penjajah Belanda.

Tahun 1947, Pram terjun dalam dunia tulis menulis pada usianya yang ke 24 tahun. Novel pertamanya, dihasilkan Pram saat dua tahun penahanannya.

Meskipun hanya menempuh sampai pendidikan di sekolah telegraf, Pram membuktikan kemampuan intelektualnya melalui tulisan yang dia hasilkan. Dia sudah menulis lebih dari 50 buku fiksi maupun non-fiksi, tidak heran bahwa dirinya memang pantas disebut sebagai sastrawan terbaik Indonesia.

3.Penjara

Penjara adalah tempat yang cukup akrab dengan kehidupan Pram. Dalam tiga periode (zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru), ia selalu sempat mencicipi penjara.

Alasannya pun beragam, mulai dari keterlibatannya dalam pasukan pejuang kemerdekaan pada zaman penjajahan Belanda, masalah bukunya "Hoa Kiau di Indonesia" yang merupakan pembelaan terhadap nasib kaum Tionghoa di Indonesia namun tidak disukai pemerintah Orde Lama.

Selain itu sampai akibat tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 oleh rezim Orde Baru yang dijalani tanpa melewati proses peradilan. Namun justru di dalam penjara itulah, lahir beberapa karyanya, termasuk masterpiece "Tetralogi Buru" dan juga roman "Arus Balik".

4.Tulisan yang Didominasi Interaksi Antar Budaya

Pram telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Banyak tulisannya yang menyentuh tema interaksi antarbudaya antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa.

Banyak juga dari tulisannya yang menggambarkan tentang kehidupannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis selama hidupnya.

Pram punya kegemaran merokok, makanya di usianya yang sudah lanjut, kesehatannya semakin menurun. Namun, dia tidak pernah absen mengeluarkan karya.

Bukan hanya itu, Pram juga memiliki ketertarikan sastra dengan wanita. Karyanya mengandung banyak potret kompleks dan berbagai jenis wanita dengan cara yang tak tertandingi orang-orang se-zamannya.

Antara lain menjadikan wanita sebagai tokoh utama karyanya, wanita terpinggirkan, stereotip wanita, kekasih, pelacur dan lain sebagainya.

5.Pandangan Ideologi

Berbeda dengan pemerintah Orde Baru yang menudingnya sebagai komunis, Pram sendiri mengaku bahwa ia tak pernah memihak ideologi apapun.

Ia selalu mengatakan bahwa ia hanya berpihak pada keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Pramisme, demikian katanya jika ditanya tentang ideologi yang dianutnya.

Walau demikian, dalam berbagai kesempatan, ia sering mengatakan bahwa salah seorang tokoh yang paling ia kagumi adalah Bung Karno. Meski begitu, Bung Karno sendiri tidak begitu menyukai Pram.

Bermula ketika Pram menghadap Bung Karno untuk membicarakan mengenai hidup para seniman, Pram mengatakan bahwa akan baik jika diadakan konferensi pengarang Asia Afrika.

Usul itu disambut oleh Presiden dan ia pun lantas menunjuk Pram sebagai ketua panitianya. Pram menolak dan mengatakan kalau saat itu ia masih terlalu sibuk.

Penolakan itu membuat Bung Karno marah. Sejak itu Bung Karno pun tak pernah menyukainya, ia menganggap Pram sebagai sosok yang angkuh.

6.Karya Yang Mendapat Penolakan dan Pencekalan

Sepoeloeh Kepala Nica (1946), Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Perburuan (1950): dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme, Keluarga Geriliya (1950), Subuh (1951), Percikan Revolusi (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Dia yang Menyerah (1951).

Cerita dari Blora (1952), Gulat di Jakarta (1953), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Mari Mengarang (1954), Cerita dari Jakarta (1957), Cerita Calon Arang (1957), Panggil Aku Kartini Saja (1965), Gadis Pantai (1962), Sejarah Bahasa Indonesia (1964), Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963), Lentera (1965).

Bumi Manusia (1980): dilarang Jaksa Agung, Anak Semua Bangsa (1981): dilarang Jaksa Agung, Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981), Tempo Doloe (1982), Jejak Langkah (1985): dilarang Jaksa Agung, Sang Pemula (1985): dilarang Jaksa Agung, Hikayat Siti Mariah (1987): dilarang Jaksa Agung, Rumah Kaca (1988): dilarang Jaksa Agung, Memoar Oei Tjoe Tat (1995): dilarang Jaksa Agung, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995): dilarang Jaksa Agung, Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000), Jalan Raya Pos, Jalan Deandels (2005).

7.Penghargaan yang Berhasil Pram Kantongi

Sekitar 200 buku Pram telah diterjemahkan lebih dari 41 bahasa di seluruh dunia, hal tersebut membawakan Pram kepada beberapa penghargaan bergengsi Nasional maupun Internasional :

- PEN Freedom to Write Award (1988)
- Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra dan Seni -             Komunikasi Kreatif (1995)
- Penghargaan dari Universitas Michigan (1999)
- Hadiah Budaya Asia Fukoka CI (2000) untuk kontribusi luar biasa  orang     Asia
- Norwegian Authors Union Award (2004)

8. Meninggal karena Radang Paru-Paru

Pram sempat tak sadarkan diri pada tanggal 27 April 2006, waktu itu Pram sempat dibawa ke RS Saint Carolus. Dia didiagnosa mengidap penyakit radang paru-paru, ditambah komplikasi ginjal, jantung dan diabetes. Tanggal 29 April, Pram ngotot meminta pulang dari rumah sakit walau dokter tak mengizinkan. Kondisinya sempat membaik.

Namun pukul 08.55 tanggal 30, Pram menghembuskan nafas terakhirnya di kediamannya Jalan Multikarya II No. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Ratusan orang memenuhi kediaman tersebut dan bersama-sama menjadi saksi kepergian Pram.

Dia dimakamkan di hari yang sama pada pukul 12.30 di TPU Karet Bivak. Lagu Intertionale dan Darah Juang menjadi alunanan lagu untuk mengiringi pemakaman Pram yang dinyanyikan oleh pelayat.

Dari sedikit penjelasan di atas, kamu bisa menyimpulkan sendiri bahwa Pramoedya adalah panutan anak muda yang tak kenal lelah dan takut. Sekalipun harus menjalani sebagian banyak kehidupan di dalam penjara, dia tetap mengeluarkan karya yang akan selalu diakui oleh dunia.

(put)

 

 

 

 

 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews