KPK: Beberapa Kasus Korupsi untuk Jajan Seks

KPK: Beberapa Kasus Korupsi untuk Jajan Seks

Wakil Ketua KPK ‎Basaria Panjaitan. (foto: ist/net)

BATAMNEWS.CO.ID, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan uang hasil korupsi dipergunakan untuk ‎pemenuhan kebutuhan seksual. Temuan itu dari beberapa kali pengembangan kasus hasil operasi tangkap tangan (OTT).

Wakil Ketua KPK ‎Basaria Panjaitan menyatakan, selama 2017 ini capaian KPK di bidang penindakan yang patut dibanggakan adalah dilakukannya 19 kali OTT. Jumlah ini terbesar sepanjang sejarah berdirinya KPK dan lebih banyak dari tahun lalu, 17 kali.

Dari 19 OTT pada 2017, Basaria membenarkan, ada dua kasus yang diduga berhubungan dengan kebutuhan lain pelakunya. Uang hasil korupsi dalam delik penerimaan suap dan/atau gratifikasi kemudian diduga dipergunakan untuk pemenuhan seksual atau birahi.

"‎Memang ada (penggunaan uang hasil korupsi) untuk kebutuhan seks. Kebetulan di sidang sudah ada yang terbuka," ujar Basaria saat konferensi pers Capaian dan Kinerja KPK 2017, di Auditorium Utama Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.

Dua kasus yang dimaksud Basaria yakni pertama, perkara terdakwa ‎auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Sadli. Sebelumnya Ali Sadli didakwa dalam tiga perkara. Pertama, menerima suap Rp 240 juta terkait pengurusan opini WTP untuk Kemendes PDTT saat pelaksanaan audit 2017.

Kedua, menerima gratifikasi berupa uang, Rp 10.519.836.000, USD80.000 (setara Rp 1,068 miliar), dan mobil Mini Cooper Tipe S F57 Cabrio. Ketiga, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan nilai uang setara penerimaan gratifikasi.‎

Dalam fakta persidangan Ali Sadli selama dua pekan lalu, terungkap ada dua perempuan selain istrinya, diduga wanita idaman lain yang diberikan uang maupun kebutuhan lain. Dua perempuan tersebut yakni, caddy golf Dwi Futhiayuni dan foto model sekaligus master of ceremony Salli Okilia.

Dwi menerima uang dengan total Rp 85 juta. Meski tidak memiliki hubungan khusus, Dwi juga mengakui di hadapan majelis hakim bahwa pernah dijanjikan menikah dengan Ali Sadli.  

Sementara Salli mengakui, disewakan satu unit apartemen seharga Rp 200 juta di Apartemen Casa Grande Jakarta, menerima transfer Rp 120 juta, dan dibiayai umrah senilai Rp 40 juta. Salli juga memberikan satu kunci apartemen ke Ali Sadli. Salli mengakui berpacaran dengan Ali tapi tidak menikah.

Kasus kedua adalah dugaan suap dan gratifikasi lebih Rp 20,074 miliar dengan tersangka Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) nonaktif Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Antonius Tonny Budiono.

Penerimaan suap dan gratifikasi Tonny terkait dengan pengurusan izin-izin dan proyek-proyek pengerukan sejumlah pelabuhan di Ditjen Hubla Kemenhub yang terkoneksi dengan program dan trayek tol laut Indonesia 2016-2017.

Berkas perkara Tonny kini sudah dinaikkan dari penyidikan ke penuntutan. Dalam proses penyelidikan sebelum OTT hingga proses penyidikan, KPK menemukan Tonny diduga mengunakan penggunaan uang hasil dugaan korupsinya misalnya untuk "chek in" di beberapa hotel.

Di antaranya, membayar satu pekerja seks komersial dari kawasan Uzbekistan dalam sekali transaksi di sebuah hotel dengan harga mencapai Rp 60 juta.

Basaria mengatakan, dalam beberapa kesempatan dirinya sering dikonfirmasi sehubungan penggunaan uang yang diduga hasil korupsi untuk kebutuhan seks, termasuk terkait perilaku tersangka Tonny. Tapi Basaria tidak mau mengungkap bagaimana proses transaksi tersebut dan nilai yang dikeluarkan Tonny.

Dia mengungkapkan, dari sisi tindak pidana maka penggunaan uang untuk kebutuhan seksual atau diperuntukkan ke perempuan selain istri dari pelaku seperti di atas masuk dalam belanja barang.

Kategori ini sama seperti ketika misalnya para pelaku tersangka ataupun terdakwa membelanjakan atau membeli aset seperti rumah maupun kendaraan. "Pada prinsipnya itu belanja barang lah ya. Belanja rumah, belanja seks," tegasnya.

Mantan staf ahli Kapolri Bidang Sosial Politik ini memaparkan, dari sisi penggunaan uang termasuk untuk kebutuhan seks maka biasanya secara prinsip kasus korupsi akan disertai dengan penerapan TPPU.

Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mengatakan, hakikatnya dalam menangani kasus di penyidikan maupun perkara pada penuntutan di persidangan maka KPK fokus pada pembuktian pidana yang dilakukan pelakunya.

Artinya pemanfaat uang suap untuk berbagai kebutuhan dan keperluan termasuk belanja seks tidak menjadi konsen KPK. Yang jelas, tutur Syarif, penggunaan uang dalam bentuk apapun itu bisa diketahui dan memenuhi unsur pidana.

"Khusus untuk pemanfaatan ‎uang yang dilakukan dalam (kasus hasil) tertangkap tangan, yaitu dia memanfaatkan untuk beli rumah atau dipakai jalan-jalan dan lain-lain itu, sebenarnya nggak terlalu penting bagi KPK. Yang ingin kami tahu adalah berapa jumlah uang yang dipakai dan itu kalau bisa dikembalikan (ke negara)," ujar Syarif.

(ind)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews