Opini

Tekanan Bagi Hukuman Mati di Indonesia

Tekanan Bagi Hukuman Mati di Indonesia

Jokowi dan Tony Abbott. (foto: zonalima)

Pro kontra dan silang pendapat tentang hukuman mati di Indonesia ini seolah menjadi respons terhadap tekanan yang dialami Indonesia dari negara-negara asing

Tekanan Australia dan beberapa negara lainnya terhadap pelaksanaan eksekusi mati bagi para terpidana mati tahap kedua, telah disusul munculnya wacana publik tentang kegamangan pemerintah Indonesia mengambil keputusan. Pasalnya berbagai persiapan yang dilakukan menjelang eksekusi seperti pemindahan tahanan, latihan dan penempatan aparat keamanan--disiarkan secara luas melalui media massa, ternyata belum menjadi indikasi dilaksanakannya eksekusi.

Di beberapa media kemudian muncul wacana bahwa Indonesia di bawah pimpinan Jokowi tunduk pada tekanan negara asing. Wacana ini buru-buru ditanggapi Jaksa Agung H.M. Prasetyo. Menurutnya tidak ada penundaan eksekusi karena alasan tekanan dari negara asing.

"Tidak tepat jika dikatakan eksekusi pidana mati ditunda. Saya pastikan tidak ada penundaan, kita menunggu proses hukum yang sedang berjalan," kata Prasetyo.

Proses sedang berjalan yang dimaksud Prasetyo adalah politisi NasDem ini salah satunya adalah proses Peninjauan Kembali (PK) terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso. Di samping itu, dia menjelaskan, pemenuhan hak-hak terpidana mati, seperti bertemu keluarganya.

Ini bukan kali pertama Prasetyo berbicara kepada media tentang pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana Narkoba. Lebih sepekan lalu dia juga menjawab tudingan ditundanya pelaksanaan hukuman tersebut. Menurut dia, pihaknya belum menentukan kapan eksekusi mati dilaksanakan. Karena itu dia menyangkal kabar mundurnya waktu eksekusi.

Namun pernyataan Jaksa Agung tersebut ternyata tidak sama dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno. Dia  mengatakan eksekusi mati tidak bisa terhalang karena proses PK yang sedang dijalani Mary Jane. Namun Tedjo menyatakan pihaknya akan terlebih dahulu memenuhi hak terpidana mati.

Soal pengajuan PK, pemerintah melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 telah dibatasi jumlah pengajuannya. Pembatasan tersebut menyangkut PK tidak boleh diajukan lebih dari satu kali. Artinya terpidana mati yang sudah mengajukan PK, tidak lagi dapat mengajukan PK untuk keduakalinya. Itu artinya lagi, bahwa terpidana mati yang telah mengajukan PK, maka secara hukum sudah berkekuatan hukum tetap.

Pro kontra dan silang pendapat di antara para pejabat tentang hukuman mati di Indonesia ini seolah menjadi respons terhadap tekanan yang dialami Indonesia dari negara-negara asing. Kesan gamangnya pemerintah rupanya dirasakan oleh publik di Indonesia sehingga menimbulkan berbagai sikap yang semakin memandang miring pemerintahan Jokowi.

Apalagi wacana yang berkembang kemudian mengait-ngaitkannya dengan banyaknya warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri yan juga terancam hukuman mati. Hal ini seolah menjadi ancaman yang bernada balas dendam, bahwa kalau Indonesia tetap menghukum mati warga negara asing, maka banyak WNI yang akan dihukum mati di negara orang.

Wacana seperti ini mulai digaungkan berbagai masyarakat. Misalnya saja peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu yang mengatakan pemerintah Indonesia tidak sadar ada 229 WNI saat ini terancam eksekusi mati di negara lain.

Dari total warga negara yang terancam hukuman mati, sebanyak 131 orang merupakan terpidana dalam kasus narkotika. Presiden Jokowi disebutkan akan kesulitan memberikan bantuan hukum bagi WNI yang terancam hukuman mati tersebut. Tentunya, apalagi negara yang menetapkan hukuman mati tersebut adalah negara yang warganya dihukum mati di Indonesia.
Di tengah proses penegakkan hukum yang lemah dan merajalelanya Narkoba, wacana yang berkembang tersebut sebagai wujud sisa upaya pembelaan terhadap para terpidana mati. Karena tradisi hukuman mati, bukanlah pertama kalinya dilakukan di Indonesia. Negeri ini sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Selama Orde Baru terpidana yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Pihak yang pro pelaksanaan hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Nyatanya, sampai tahun 2006 tercatat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Dari sisi masyarakat, hukuman mati didukungan luas masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75 persen dukungan untuk adanya vonis mati. Eksekusi yang paling menarik perhatian publik tahun 2008 dan adalah eksekusi Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron, terpidana Bom Bali 2002. Setelah tahun 2013, terdapat puluhan orang yang dihukum mati. Namun kepentingan dan tekanan negara asing seperti Australia membuat eksekusi mati kali ini menjadi wacana liar yang panas.

Penutup

Tidak ada yang merasa senang dengan dihukum matinya para terpidana, Karena bagaimana pun menumpahkan darah seseorang bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Namun ketika berbicara hukum, maka banyak aspek yang menjadi pertimbangan, di antaranya kewibawaan hukum itu sendiri, dan rasa keadilan masyarakat. Jika pemerintahan Jokowi gamang atau malah urung melaksanakan mandat hukum, maka ia akan membenarkan wacana yang lebih dulu muncul, bahwa Jokowi tunduk pada tekanan asing.

Oleh Dr Drs Ramli Lubis, SH, MM
Penulis adalah Mantan Wakil Wali Kota Medan (pernah diterbitkan di Harian Waspada)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews