Kisah Pilu Anak-anak Rohingya Jadi Korban Kekerasan Seksual Tentara Myanmar

Kisah Pilu Anak-anak Rohingya Jadi Korban Kekerasan Seksual Tentara Myanmar

Anak-anak Rohingya yang berada di kamp pengungsian Bangladesh. (foto: ist/net)

BATAMNEWS.CO.ID, Rakhine - Kebiadaban tentara Myanmar sudah di luar batas kemanusian. Tak hanya perempuan dewasa yang mengalami kekerasan seksual. Banyak anak-anak di bawah umur ternyata juga mengalami kejadian yang mengerikan. 

Salah satu korban adalah Adjida yang masih trauma karena diperkosa tentara Myanmar. Bocah berusia 13 tahun itu menceritakan sudah meminta tentara menghentikan aksi kejamnya, tetapi tentara itu tak memiliki belas kasihan.

Setelah Adjida diperkosa, dia juga menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ayahnya yang ditembak mati. Dia berusaha melarikan diri ke hutan, tetapi tentara Myanmar berhasil menangkapnya kembali. “Saya masih merasakan sakit. Saya telah kehilangan keperawanan. Saya sulit menemukan suami,” ujar Adjida dilansir Reuters.

Rumah Adjida juga sudah dibakar di Kawarbil oleh tentara Myanmar. Setelah itu, dia melarikan diri ke perbatasan
Bangladesh bersama kakak perempuannya, Minara, sebulan lalu. Mereka tinggal di kamp pengungsi sementara yang
terbuat dari bambu dan beratapkan plastik. 

“Orang tua kita dan dua kakak perempuan tewas. Mereka tidak lagi merawat kita. Di kamp, kita mendengar beberapa
gadis juga diperkosa. Itu kenapa kita tetap berada di tenda sepanjang waktu,” ungkap Minara. 

Baik Adjida dan Minara tetap melanjutkan sekolah di kamp pengungsi. Mereka juga mengaku malu dengan apa yang
telah terjadi dengan mereka. “Saya memiliki banyak mimpi untuk masa depan,” ungkap Minara. 

Dia mengaku juga tak memiliki baju lagi untuk menutupi tubuhnya. Dia meminjam baju dari tetangganya di kamp
pengungsian. Minara dan Adjida enggan kembali ke Myanmar. “Saya lebih baik mati dari pada kembali ke Myanmar,”
ungkap Minara. 

Sedangkan adiknya, Adjida, juga sepakat dengan pendapat kakaknya. “Saya lebih baik mati ketika tentara Myanmar
menangkap saya lagi. Lebih baik mati,” tutur Adjida. 

Menurut kepala perlindungan anak-anak Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa Urusan Pengungsi Jean Lieby
mengungkapkan, kekerasan seksual memang kerap terjadi terhadap perempuan etnik Rohingya. “Sebanyak 800
insiden kekerasan gender dilaporkan pengungsi Rohingya. Separuh di antaranya adalah kekerasan seksual,” ungkap
Lieby. 

Namun, lembaga kemanusiaan mengalami banyak kesulitan memberikan bantuan dengan banyaknya jumlah
pengungsi. “Kita baru sebulan di sini, ternyata jumlah pengungsi sangat banyak. Setengah juta orang berdatangan,”
ungkap Lieby. 

Dia mengungkapkan, pihaknya terus bekerja sama membantu pengungsi anak-anak. “Kita juga fokus menyembuhkan
anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan,” tuturnya.

Sebanyak 515.000 pengungsi Rohingya tiba di Bangladesh karena kekerasan yang semakin intensif di negara bagian
Rakhine, Myanmar. PBB menyebut aksi militer Myanmar sebagai pembersihan etnik. “Mereka merasa nyaman di sini.
Mereka sering berbicara terbuka tentang trauma mereka,” ungkap juru bicara UNFPA (Badan PBB untuk Dana
Penduduk) Veronica Pedrosa. 

Lembaga donor membangun tempat aman di kamp pengungsi Kutupalong. Di lokasi itu, perempuan dan anak-anak
yang menjadi korban kekerasan seksual bisa mendapatkan konseling dan dukungan. Meskipun konseling sudah
dilaksanakan, masih banyak anak-anak tidak mengaku kalau mereka adalah korban pemerkosaan.

“Anak-anak mengalami ketakutan jika disebut sebagai korban pemerkosaan. Mereka khawatir dengan opini buruk
tentang keluarganya,” ujar Rebecca Duskin, perawat yang fokus menangani korban kekerasan seksual.

Juru bicara lembaga nirlaba Save the Children Evan Schuurman dilansir BBC, mengungkapkan, krisis Rohingya juga menjadi kondisi darurat untuk anak-anak. “Salah satu hal yang tampak jelas dari berjalan melintasi kamp (pengungsian Rohingya) adalah anak-anak mengalami masalah emosional, mereka menderita trauma dan stres,” tutur Schuurman. 

(ind)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews