Dilema Tangkapan Illegal Fishing

Orang Vietnam Masuk Kota di Natuna Bisa Picu Masalah Sosial

Orang Vietnam Masuk Kota di Natuna Bisa Picu Masalah Sosial

Para nelayan Vietnam hasil tangkapan TNI AL saat diangkut menggunakan truk sebelum dideportasi ke negaranya Juni 2017. (Foto: Batamnews)

BATAMNEWS.CO.ID, Natuna - Para terdakwa kasus Illegal Fishing asal Vietnam nampak bebas wara-wiri di tengah masyarakat. Pemandangan orang Vietnam lewat di Kota Ranai sudah tidak asing lagi.

Mereka bukan turis asal Vietnam yang berlibur di Natuna. Namun nelayan vietnam yang terjaring operasi aparat Indonesia karena menangkap ikan ilegal di perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun hukum internasional melarang mereka untuk dilakukan kurungan badan.

Sebagai lokasi yang berada di ujung utara Indonesia, perairan Kepulauan Natuna merupakan daerah kaya ikan. Nelayan asing seperti Vietnam, China, Thailand bahkan Malaysia kerap masuk di wilayah ZEEI wilayah Natuna.

Kapal-kapal mereka sering ditangkap aparat seperti PSDKP hingga TNI AL setiap bulannya. Mereka memasuki ZEEI tanpa dilengkapi dokumen dan menggunakan alat tangkap pukat harimau.

Tahun ini, kejaksaan negeri Natuna sudah kecolongan enam nakhoda terdakwa Illegal Fishing asal Vietnam yang sedang menjalani masa proses hukum. Mereka kabur dengan mencuri perahu ikan milik nelayan lokal.

Kepala Kejaksaan Negeri Natuna, Efriyanto mengatakan pihaknya butuh lokasi untuk melokalisir para terdakwa ini. "Mereka nggak bisa kita sebut tahanan. Karena nggak boleh dikurung. Sambil menunggu proses hukum, mereka ditampung di kawasan kita. Ada yang belanja dan sebagainya," kata Efriyanto.

Bahkan para orang Vietnam yang diproses ini bisa membuat kerajinan seperti sapu lidi, jaring gantung untuk istirahat hingga miniatur kapal untuk mereka jual berkeliling mencari uang tambahan. 

Pihak kejaksaan melakukan proses hukum tahap dua setelah para nelayan ini dilimpahkan oleh TNI AL. Dalam kata lain, keberadaan terdakwa Vietnam ini menjadi tanggung jawab kejaksaan sebelum bahkan setelah disidangkan di pengadilan.

"Kami mana ada anggaran untuk makanan mereka. Paling kita bantu anggaran beras. Saat ini saja yang dalam pengawasan kami ada 47 orang. Empat barusan kabur. Kita biasa kroscek keberadaan mereka pagi dan petang. Namun jumlah mereka yang banyak susah kami mengawasinya. Apalagi kalau malam. Kecuali mereka kita kurung, tapi kan aturan tidak memperbolehkan itu," paparnya.

Menurutnya aspek kesehatan nelayan Vietnam saat diamankan pihak aparat di laut sudah diperiksa. "Kalau soal kesehatan pihak aparat TNI AL biasnya periksa. Memang kita antisipasi juga kalau mereka mengidap penyakit menular," ujar Efriyanto.

Sejauh ini, kerugian yang diderita warga di Ranai Kabupaten Natuna, oleh ulah terdakwa asal Vietnam baru hilangnya dua pompong. Disinyalir mereka gunakan untuk melarikan diri. Para terdakwa Vietnam ini biasa beredar hingga ke tengah kota. Namun mereka harus menjalani sistem wajib lapor.

Para Vietnam ini juga diberikan kesempatan untuk menggunakan ponselnya dalam waktu-waktu tertentu. Mereka biasa menghubungi saudaranya yang ada di negaranya.

"Ya ada kita berikan kesempatan. Tapi setelah itu ponselnya kita ambil lagi. Biasa saudara mereka kirim duit ke mereka via orang ketiga, yakni translator yang kami tunjuk. Biasanya dari Bank Vietnam transfer dulu ke Malaysia, dari Malaysia baru bisa masuk ke Indonesia, ada yang membantu, yakni translatornya, kebetulan ia orang keturunan Vietnam di Indonesia," papar Efriyanto.

Kasi Intel Kejari Ranai, David Jonie menungkapkan jika ada nelayan Vietnam yang melakukan kriminal di tengah masyarakat bisa ditindak sesuai hukum KUHP. Bukan tidak mungkin, bisa saja mereka melakukan aksi pencurian dan kejahatan lainnya.

"Ya kalau hal seperti itu bisa kita proses sesuai hukum KUHP kita. Tapi kalau soal penahananan mereka selama proses perikanan ini, sepertinya regulasi internasional ini membuat kita susah mengawasi mereka," sebutnya.

Adapun rumah detensi imigrasi di Ranai biasa dipakai untuk menampung para ABK Vietnam sebelum dipulangkan. Sementara nakhoda kapal harus menjalani persidangan terlebih dahulu.

Hakim Pengadilan Negeri Ranai, Nanang Dwi Kristanto mengakui jumlah berkas yang masuk ke pengadilan tiap tahun semakin bertambah. 

"Dari tahun ke tahun bertambah. Hukuman yang dijatuhkan kan hanya denda. Biasanya mereka nggak sanggup membayar, ya baru kita berlakukan hukuman subsider penganti paling kurungan beberapa bulan. Ruginya banyak di negara kita, ikan yang mereka keruk dengan penerapan hukum dan biaya proses yang kita jalankan tidak sebanding," ujar Nanang beberapa waktu lalu.

Entah kenapa upaya penenggelaman kapal tangkapan Illegal Fishing yang dijalankan pemerintah selama ini tidak membuat mereka jera.***

(fox)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews