Tajuk Rencana

Hatanto, Arogansi, dan Komunikasi yang Buruk

Hatanto, Arogansi, dan Komunikasi yang Buruk

Kepala BP Batam Hatanto dan Walikota Batam Rudi dalam sebuah kesempatan (Foto: Batamnews)

KEPALA BP Batam Hatanto Reksodipoetro berbicara panjang lebar kepada media asing Singapura, Straits Times, beberapa hari lalu. Ia memaparkan sejumlah permasalah di Batam. Dalam kesempatan itu, Hatanto menepis adanya dualisme BP Batam dengan Pemko Batam.

Perbincangan Hantanto dengan media asing ini patut dipertanyakan. Pasalnya, selama ini, Hatanto paling sulit berbicara kepada media. Lebih lagi kepada media-media lokal. Publik sangat sulit mencari penjelasan yang paripurna terkait kebijakan-kebijakan dan perkembangan di Batam.

Permintaan wawancara khusus yang sering diajukan tak pernah direspon. Bisa jadi Hatanto sudah tak percaya lagi akan media lokal, sehingga memilih wartawan Straits Times, sebagai curahan hatinya. 

Sayangnya berharap mendapatkan pencerahan dari wawancara tersebut, nyatanya isi wawancaranya pun lebih kepada wawancara monolog. Di sana ia membantah isu yang berkembang, justru bukan konteks bagaimana ia menjalankan kebijakan, dan apakah bisa dipahami masyarakat atau kalangan pebisnis dan pengusaha. 

Ternyata tidak begitu. Hatanto lebih banyak membantah isu yang selama ini berkembang. Tidak terlihat argumentasi. Tapi anggap saja itu pariwara yang sudah seharusnya dibayar mahal.

Selain itu, tidak juga ada upaya Straits Times meminta perimbangan dari Walikota Batam terkait kabar dualisme itu. 

Padahal kebijakan-kebijakan Hatanto sebagai kepala BP Batam sangat bersinggungan dengan masyarakat Batam dan pengusaha. Tentu saja hal itu perlu penjelasan lebih jauh dari para pimpinan BP Batam, dan tidak cukup sekadar apa yang tertera di atas kertas. 

Barangkali ada yang luput dari cara Hatanto menakhodai BP Batam yakni, cara berkomunikasi.

Jika menilik pendapat dari pakar komunikasi, DR Dr. H. Abdullah Syarif, SH, MA,  bahwa komunikasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menjalankan proses administrasi dan interaksi antar elemen pada suatu organisasi atau lembaga, baik internal maupun eksternal. Hal ini tentu tentu bertolak belakang dengan apa yang diterapkan Hatanto.

Menurut Abdullah Syarif, tanpa adanya jalinan komunikasi  yang  baik dan benar, besar kemungkinan semua proses di dalam organisasi/lembaga  tersebut  tidak akan dapat berjalan dengan maksimal dan sesuai  dengan yang  telah direncanakan. Padahal kemampuan komunikasi yang baik akan sangat membantu semua proses yang  ada dalam  suatu  organisasi/lembaga.

Sementara itu, dalam menerapkan kebijakannya, banyak sektor yang telah “sukses” dinaikkan oleh Hatanto, tanpa adanya komunikasi yang baik. Mulai dari tarif UWTO, tarif layanan rumah sakit, kepelabuhan, tarif layanan Bandara Hang Nadim. Semua ia naikkan serentak melalui Perka, dan itu sangat tiba-tiba. Tentu saja menyentak dan mengagetkan. Tak sekalipun pembahasan dengan melibatkan pemangku kebijakan lainnya di Batam.

Jeritan masyarakat pun meledak dan sempat tak dihiraukan. Hatanto barangkali berpikir, urusan jeritan itu adalah jatah Walikota Batam Rudi untuk mengurusinya. Ujung-ujungnya ekonomi makin terpuruk. Ketimpangan ekonomi dan sosial semakin terasa.

Kebijakan-kebijakan para pimpinan BP Batam itu sempat memantik gaduh, bahkan hingga kini. Terutama pemungutan tarif baru Uang Wajib Tahunan (UWT) atau UWTO. Tarif UWTO pun sempat direvisi setelah gelombang penolakan masyarakat dialamatkan ke BP Batam.

Melihat cara berkomunikasi Hatanto tersebut, seolah-olah ia alergi untuk sekadar berbagi cerita atau memaparkan konsep-konsep yang telah ia buat. Boleh dikata, soal komunikasi massa Hatanto, cukup buruk. 

Sebenarnya hal itu sudah terlihat dari sejak awal dan selama perjalanan karirnya di lembaga yang dahulu bernama Otorita Batam tersebut.

Gubernur Nurdin Basirun pun sempat kesal dan menilai Hatanto sosok yang kurang ramah. Bahkan Nurdin kerap mengundang Hatanto namun tak pernah dihadiri.

Nurdin tak mampu menutupi kekesalannya kepada mantan caleg dari Partai Hanura dapil Jawa Barat tersebut. Apalagi Nurdin kerap menerima keluhan dari sejumlah elemen masyarakat hingga pengusaha mengenai implikasi kebijakan BP Batam tersebut, namun tak mendapat jawaban. Tak heran ketika sergapan wartawan mengenai kabar pergantian Hatanto baru-baru ini, ia pun buru-buru sepakat dan mendukung.

Minimnya komunikasi Hatanto itu juga terlihat saat ia menyambangi pimpinan DPRD Kota Batam. Dalam kesempatan itu, tanpa tedeng aling-aling, ia menuding media hanya sebagai media pengadu. Kata Hatanto, “kalau media membuat berita, mengadu di antara kita. Ya begitu.” Entah apa maksudnya, Hatanto pun tak menjelaskan hal itu dengan rinci.

Barangkali Hatanto lupa, media adalah alat komunikasi massa, tempat lalu lalang orang berkomunikasi untuk mencapai pemahaman yang sama, dalam bermasyarakat. Media juga diberi amanah untuk memberikan informasi seluas-luasnya kepada publik.

Pada saat itu, di depan Hatanto duduk Ketua DPRD Kota Batam Nuryanto. Beberapa wartawan tentu saja tercekat mendengar pernyataan itu. 

Hatanto barangkali beranggapan, komunikasi yang baik hanya perlu kepada bawahannya saja, sedangkan keluar cukup humas. Tapi ia lupa, segala kebijakannnya itu, sekali lagi, kerap bersinggungan dengan masyarakat Batam, dan perlu dijelaskan seorang pimpinan. Bila tidak, Hatanto tentu saja harus siap-siap dikritik. Bahkan, bila terus-terusan cuek, Hatanto bisa saja dianggap public enemy.

Meski demikian, kita patut menghargai upaya Hatanto membasmi mafia-mafia lahan di Batam. Layanan pun dipermudah dengan sistem online. Mereka yang pungli siap-siap dipecat. Ia juga memiliki tagline "Kerja, kerja, kerja." Terutama saat menjawab pertanyaan wartawan dengan singkat.

Tapi nyatanya, mafia itu sampai saat ini hanya isapan jempol atau belum terbukti. Upayanya “cuci piring” bawahannya yang nakal juga tak kentara. Alih-alih menarik lahan tidur, justru lahan-lahan tersebut tampak tidur nyenyak di depan Hatanto yang berkantor di Batam Centre. Sejauh mata memandang sejumlah lahan kosong dapat ditemui.

Ironinya, BP Batam mengatakan, saat ini kesulitan lahan untuk investor. Sementara di lahan-lahan kosong itu, tidak ada geliat pembangunan, seperti ancamannya agar pemilik lahan segera membangun.

Malahan baru-baru ini polisi meringkus seorang Kasatker Kantor Pelabuhan BP Batam setelah memalak sejumlah importir saat bongkar muat module untuk industri di pelabuhan Batu Ampar. 

Gaya komunikasi Hatanto ini juga membuat “perang dingin” antara BP Batam dan Walikota Batam kian bergolak. Baik Rudi maupun Hatanto seperti tak pernah bertegur sapa, meskipun jarak kantor keduanya hanya sepelemparan batu.

Rudi jelas-jelas geram. Segala upayanya untuk menyelaraskan kebijakan dengan janji kampanyenya belum terwujud. Terutama soal UWTO yang kini semakin dibebankan kepada masyarakat. Masyarakat Batam yang memiliki tanah dan bangunan saat ini harus membayar dua kali lipat. Sudahlah UWTO, wajib pula membayar Pajak Bumi dan Bangunan. “Kantor saja masih numpang sama BP Batam,” cetusnya.

Belum lagi tanah yang ditunggui masyarakat Batam saat ini hanya sebatas Hak Guna Bangungan (HGB). Tidak lebih. Celakanya lagi, selama 30 tahun, setelah UWTO berakhir, mereka kembali harus membayar tarif baru yang ditetapkan dengan lebih tinggi dari sebelumnya. Nilai per meter persegi pun melonjak lebih dari 100 persen. Kebijakan-kebijakan itu tentu sulit diterima akal sehat. Apalagi di tengah kondisi ekonomi Batam yang anjlok dari tahun sebelumnya.

Artinya, mereka yang saat ini bekerja, kemudian pada saat pensiun harus membayar UWTO tersebut kembali, apakah mampu? Belum lagi berbagai kebijakan lainnya. Hatanto boleh berbangga hati bahwa ia mendapat restu dari pemerintah pusat menangani lahan serta investasi di Batam. 

Meskipun secara keseluruhan itu bukan hanya tanggungjawab BP Batam semata, masih ada pemerintah daerah di antaranya, namun bagaimana pun jua, BP Batam mencatatkan rekor menaikkan sejumlah tarif yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak secara tanpa ampun, lebih dari 100 persen.

Itu terjadi di zaman kepemimpinan Hatanto.

Kebijakan itu tentu saja dirasakan 1,2 juta jiwa penduduk Batam. Anggap saja, 20 persen dari penduduk di Batam adalah buruh dengan gaji pas-pasan, apa yang bakal terjadi dengan himpitan ekonomi semacam itu. Sudah barang tentu, angka kriminalitas meningkat, kesenjangan sosial dan ekonomi semakin terasa, hingga keputusasaan mendera. 

Jadi tak perlu heran lagi kalau ribuan orang terpaksa “eksodus” dari Batam untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Barangkali ini yang diinginkan.

Lantas kalau sudah begini, siapa yang pantas disalahkan?

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews