Pantai Pattaya dan Geliat Birahi Penari Go-go

Pantai Pattaya dan Geliat Birahi Penari Go-go

Pantai Pattaya, Thailand. (Foto: detik.com)

AMBOI, indahnya menikmati malam di pantai Pattaya yang terletak di sisi timur Teluk Thailand,  Provinsi Chonburi, yang cuma berjarak 150 kilometer dari Bangkok. Suara kecipak ombak saat menepi, lalu terburai saat menghempas pasir, menjadi pengantar detak jarum jam pertanda waktu terus berjalan. 

Pantai Pattaya di malam hari adalah hingar bingar dentuman musik dan kerlip lampu aneka warna. Turis-turis berseliweran di jalanan yang memisahkan garis pantai dengan ratusan, mungkin juga ribuan bar di sepanjang sisi pantai.

Ada juga bule yang iseng, tidur di atas pasir putih dengan telanjang dada. Ini bukan bule perempuan, tapi laki-laki.

Setelah puas bermain-main dengan pasir dan air laut, saya berjalan kaki ke arah selatan. Di sini, ada sebuah tulisan yang dipacak di trotoar,”Pattaya in Love.” Di belakangnya diberi hiasan bunga berbentuk hati. Jadilah tempat itu sebagai lokasi para wisatawan berfoto.

Agak ke selatan, ada Walking Street. Jaraknya sekitar dua kilometer dari tempat saya menginap di Top House. Ini adalah hotel kecil di atas bangunan berbentuk ruko dua pintu. Di bawahnya ada Thai Messege. Tiga lantai di atasnya dijadikan sebagai penginapan. Ruangannya cukup lega, bersih, dilengkapi pendingin ruangan, dan kamar mandi.

Baca juga:

 

Seperti namanya, di kawasan ini berjubel para turis yang berjalan kaki. Di sisi kiri kanan jalan adalah toko-toko yang menawarkan aneka hiburan malam. Dari yang kelas kroco, hingga kelas atas.

Di sepanjang jalan, tampak pemandangan beberapa orang yang berdandan ala perempuan dengan dada terbuka mendekati turis-turis yang lewat. Dandanannya menor, tapi terlihat cantik.

Separuh buah dadanya menyembul keluar. Selidik punya selidik ternyata sebagian dari mereka adalah banci, yang di Thailand lazim disebut lady boy. Mereka tak segan-segan mengoperasi payudara agar terlihat seperti perempuan.

Untuk ke tempat ini, saya menyewa dua sepeda motor yang bisa dikendarai sendiri. Harganya 200 Bath per sepeda motor.

“Adult entertainment” gampang ditemui di pinggir-pinggir jalan. Malam itu, ketika berjalan di pinggir pantai, saya sempat mengintip ke sebuah bar yang menyaksikan atraksi Agogo. Sejumlah perempuan muda menggeliat di atas panggung dengan hanya mengenakan bra dan cawat minim. Mereka meliuk-liuk di tiang berkilau memikat birahi.

Sejujurnya, saya penasaran ingin menyaksikan “adult entertainment” yang selama ini hanya saya dengar dari teman-teman yang berkunjung ke sana.

***

Ketika matahari terbit esoknya, saya berkeliling mencari makanan halal di sekitar masjid yang kami temukan di peta Pattaya.

Dari sisi keyakinan, penduduk Pattaya 80 persen penganut Budha, 16 persen Islam, dan 2 persen Kristen. Konsentrasi penduduk muslim berada di Pattaya Selatan.

Menggunakan sepeda motor sewaan, saya memulai pencarian untuk sarapan. Karena hanya bermodal peta, beberapa sempat kesasar. Tetapi, itu bukan masalah besar. Ada saja orang yang berbaik hati memberi petunjuk arah.

Di depan sebuah pasar, saya berhenti karena melihat seorang perempuan berjilbab yang duduk di atas sepeda motor yang sedang diparkir. “Is there any moslem food here?,” saya bertanya.

Untungnya, perempuan itu mengerti bahasa Inggris. Saya harus mengatakan ini sebab jarang sekali saya menemukan penduduk lokal yang bisa berbahasa Inggris. Beberapa kali saya harus menggunakan bahasa tarzan  atau membentangkan peta ketika hendak menanyakan sebuah tempat.

Untungnya lagi, perempuan berjilbab dan bercelana jeans itu berbaik hati memandu saya menemukan makanan muslim. Ia memandu dengan motornya di depan, sementara saya mengikuti dari belakang.

Tampaknya, warga Pattaya sadar benar bagaimana memperlakukan turis. Sebab, kehidupan ekonomi kota itu memang sepenuhnya bergantung pada industri wisata.

Sepuluh menit kemudian perempuan itu berhenti di sebuah restoran yang papan nama tokonya dilengkapi tulisan Arab dan logo halal. Sayangnya, karena baru jam 10 pagi, restoran itu belum buka. Perempuan itu pun, saya lupa menanyakan namanya, mengarahkan telunjuknya agak ke depan.

“Di daerah ini banyak makanan Arab, masuk saya ke lorong di sisi kanan itu, banyak makanan muslim di sana,” ujarnya.

Ia pun kembali memacu motornya, masuk ke sebuah lorong lain, membiarkan saya melanjutkan pencarian.

Aha! Benar saja, di sana kami menemukan sejumlah restoran Timur Tengah. Ada yang menawarkan makanan Libanon, Dubai, Iran, Afganistan, hingga Mesir. Inilah sepotong tanah Arab di Pattaya.  Sayangnya, belum banyak restoran yang buka. Di sebuah sudut, ada bar Iran yang memutar musik padang pasir.

Pattaya kini memang telah menjadi melting pot, tempat berkumpulnya berbagai bangsa. Maka yang terjadi kemudian adalah percampuran budaya dan lifestyle. Sebelumnya kami juga menemukan banyak restoran eropa, mulai dari Rusia, Irlandia, Perancis, hingga Jerman.

Pencarian berakhir di sebuah warung. Namanya Muslim Restorant.  Papan nama toko itu dilengkapi logo halal yang dikeluarkan pemerintah Malaysia. Para pekerjanya memakai jilbab.

Meskipun memakai logo halal dari Malaysia, ternyata mereka penduduk asli Pattaya.

Di sana, beberapa pria berwajah Arab dan Afrika terlihat sedang menikmati sarapan.

Di warung itu saya berkenalan dengan seorang pria asal Dubai. Ia memperkenalkan diri dengan nama Jalal, seorang inspektur polisi yang bertugas di imigrasi Dubai. Jalal pria yang ramah. Wajahnya khas Timur Tengah dengan hidung mancung dan besar.

Jalal jatuh hati pada Pattaya sejak pertama menginjakkan kaki di sana pada tahun 2000. Sejak itu, ia mengaku tiga bulan sekali kembali ke Pattaya.  Itu artinya, Pattaya berhasil membuat Jalal melakukan perjalanan berulang ke kota itu, sebuah barometer kesuksesan sebuah kawasan wisata.

Jika negaranya sedang dilanda musim panas pada bulan Juni hingga September, Jalal memastikan, biasanya ia membawa serta keluarganya ke Pattaya.

Pada November hingga Februari, cuaca di Pattaya tergolong nyaman. Suhunya berkisar 29 – 31 derajat Celcius. Tidak terlalu panas, juga tak dingin. Ini akan berbeda jika datang ke sini pada Maret hingga Mei. Cuacanya lebih panas: 31 – 33 derajat Celcius. Bulan Juni hingga Oktober adalah musim hujan dan pancaroba.

“Saya suka jalan-jalan ke sini. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin mencari suasana berbeda dari di negara saya,” kata Jalal dengan bahasa Inggris aksen Arab.

Yang paling ia suka dari Thailand, cuacanya tidak ekstrem dan biaya hidup yang tergolong murah dibanding di negaranya.  “Orang-orang di sini juga ramah tamah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujarnya. Kami berbincang hampir satu jam.

Hari itu saya  melanjutkan perjalanan dengan berkeliling hingga ke Jomtien Beach, sekitar 15 kilometer dari pusat Pattaya.

Menjelang sore saya kembali ke hotel karena harus kembali ke Bangkok, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Chiang Mai, provinsi yang berjarak sekitar 700 kilometer di utara Thailand.

Sebelum meninggalkan Pattaya menuju kembali ke Bangkok, di sebuah toko yang menjual souvenir, mata saya tertumbuk pada sebuah kaos bertulisan,”Good guys goes to heaven, bad guys goes to Pattaya. ***

Penulis: Yuswardi A. Suud


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews