Titik Awal Peradaban Islam di Indonesia, Mengapa di Barus?

Titik Awal Peradaban Islam di Indonesia, Mengapa di Barus?

Presiden Jokowi mengunjungi kawasan objek wisata religi Pemakaman Mahligai Barus. (Laily Rachev/Biro Pers Setpres/detik.com)

BATAMNEWS.CO.ID, Barus - Secara historis apakah benar jika menyebut Barus di Tapanuli Utara sebagai titik awal peradaban Islam di Nusantara ini?

Jika tidak akurat, tentu saja Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak datang jauh-jauh dari Jakarta ke daerah terpencil di Sumatera hanya meresmikan menumen Titik Nol Peradaban Islam Nusantara pada Jumat (24/3/2017).

Laman thejakartapost.com menuliskan, sebetulnya Presiden Jokowi bukan sekedar meresmikan tugu semata. "Presiden mengirim pesan, bahwa keragaman adalah kekayaan bangsa," tulis The Jakarta Post online. Ini adalah upaya Presiden untuk mengingatkan bahwa Indonesia bukanlah tempat penganut fanatisme buta.

Barus, juga dikenal sebagai Fansur, adalah tempat Islam yang harmonis. Islam tak hanya menyatu dengan budaya lokal, juga dengan peradaban besar lainnya. Ini adalah kota kelahiran penyair legendaris abad ke-16 dan mistik Hamzah Fansuri, yang diartikulasikan doktrin monis dari wujudiyah.

Laman detik.com menuliskan, meski tak berjuluk 'Serambi Makkah', diyakini di  tempat inilah agama Islam masuk ke Nusantara.  Kendati demikian, menurut The Jakarta Post,  banyak sarjana percaya bahwa Islam Indonesia mulai di Samudra Pasai, yang terletak di Aceh Utara.

Soal Barus, belum ditemukan jejak sejarah mengenai titik awal wilayah ini terbentuk. Tetapi tercatat sejak abad ke-6 Masehi, rempah-rempah dari Barus jadi magnet bagi para saudagar penjuru dunia.

Dalam buku 'Lobu Tua Sejarah Awal Barus' yang disunting oleh seorang peneliti asal Prancis Claude Gulliot yang dikutip detik.com pada Sabtu (25/3/2017), Barus juga dikenal dengan nama Pancur atau dalam bahasa Arab menjadi Fansur. Buku yang ditulis oleh beberapa peneliti itu pun belum bisa mengungkap apakah Barus dan Pancur memiliki makna yang sama.

Seorang ahli geografi yang juga matematikawan berdarah Yunani, Claudius Ptolemaeus pada abad ke-1 Masehi menyebut ada lima pulau yang salah satunya bernama 'Barousai'. Namun belum terbukti benar apakah Barousai adalah Barus.

Meski tak ada catatan yang memastikan bahwa Barus adalah Barousai yang dimaksud Ptolemaeus, tetapi memang sejak dahulu Barus dikenal sebagai penghasil kamper. Pada zaman dahulu tak semua tempat bisa ditumbuhi pohon kamper, dan komoditas ini amat disukai orang Timur Tengah.

Maka masuklah pedagang dari Timur Tengah ke Barus yang pada abad ke-6 Masehi merupakan pelabuhan di tepi barat Sumatera Utara. Kala itu memang belum bernama Sumatera Utara.

Tak hanya pedagang dari Arab, bahkan di Barus juga sudah berdatangan para pedagang dari Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Keanekaragaman suku bangsa yang datang ke Barus terbukti dengan adanya catatan-catatan berbahasa Arab, Yunani, Syriak, Tamil, Melayu, Jawa, hingga Armenia tentang Barus.

Masuknya Islam ke Nusantara dipercaya turut dalam jalur perdagangan ke Barus ini. Jalur perdagangan ini dikenal sebagai Jalur Rempah karena memang para pedagang memiliki misi untuk mencari rempah-rempah.

Bukti bahwa Islam pertama kali masuk ke Nusantara lewat Barus adalah ditemukannya makam Syekh Rukunuddin yang wafat pada tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah. Makam tersebut terdapat di kompleks Makam Mahligai di Barus.

Seperti disebutkan di awal artikel ini, bahwa kedatangan presiden ini adalah juga sebagai wujud dari pesan bahwa keragaman adalah kekayaan bangsa yang tiada ternilai.  Seperti itulah kutipan dalam sambutannya.

"Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan 714 suku, seperti Asmat, Badui, Batak, Betawi, Bugis, Gayo, Sasak dan Sunda, di 315 kabupaten dan kota di seluruh negeri. Keragaman ini adalah harta yang harus kita syukuri seperti dalam satu wilayah saja ada berbagai jenis salam.”

Keragaman ini diyakini terwakili dengan Islam di Barus ini.  Fuad Jabali, seorang sejarawan dari Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN), mengatakan bahwa bentuk Islam yang berkembang di Barus itulah yang paling mewakili versi Islam Nusantara.

Islam Nusantara ditandai dengan inklusivitas dan di Barus aspek internasional Islam memadukan damai dengan tradisi lokal.

“Simbolis ini harus dipahami bahwa Jokowi mengakui Indonesia membutuhkan jenis Islam yang mencakup perbedaan," kata Fuad kepada thejakartapost.com. Jadi Islam Nusantara adalah Islam yang tak alergi dengan keragaman tradisi lokal dan tradisi global seperti yang ditunjukkan oleh Barus di masa lalu. ”***

Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews