Lihat Bocah Aleppo Dibedah Tanpa Bius, Jurnalis Turki Menangis

 Lihat Bocah Aleppo Dibedah Tanpa Bius, Jurnalis Turki Menangis

Ribuan warga Aleppo berusaha keluar dari kota tersebut. (foto: ist/kompas)

BATAMNEWS.CO.ID, Damaskus - Bencana kemanusiaan yang terjadi di Aleppo, Suriah, sangat mengerikan dan mengenaskan, terutama saat anak-anak yang menjadi korban.

Hal inilah yang membuat seorang jurnalis dan pembaca berita Turki, Turgay Guler tak mampu menahan tangis saat mengabarkan kisah sedih dari Suriah itu.

Seperti biasa Guler menjalankan tugasnya sebagai pembawa berita di stasiun televisi Ulke TV.

Awalnya, Guler menjalankan tugasnya dengan lancar hingga masuk ke berita konflik bersenjata Suriah khususnya di kota Aleppo.

Dalam video yang ditayangkan sebagai ilustrasi berita, terlihat seorang anak kecil yang harus menjalani operasi tanpa anestesi atau dibius.

Kondisi mengenaskan itu membuat Guler tak kuasa menahan air matanya. Guler hanya bisa memegang kepala dengan kedua tangannya sambil berusaha untuk terus membacakan berita.

Pada November lalu, harian The Independent mengungkap bahwa bayi-bayi prematur dipindahkan dari inkubator setelah serangan udara menghancurkan sejumlah rumah sakit.

Sementara itu, organisasi Dokter Tanpa Batas (MSF) mengatakan, lebih dari 30 rumah sakit di wilayah timur Aleppo diserang sejak Juli lalu.

Selain itu, akibat pengepungan oleh pasukan pemerintah, persediaan obat-obatan menipis dan tanpa kemungkinan mendapatkan pasokan baru dari luar kota.

PBB mengecam keras aksi pasukan pemerintah Suriah dan Rusia yang melarang pasokan obat-obatan masuk ke wilayah timur Aleppo.

Beruntung, setelah kesepakatan gencatan senjata disepakati, sebanyak 8.000 orang, termasuk 2.700 anak-anak, diizinkan meninggalkan sisi kota yang terkepung itu.

Sayangnya, evakuasi warga sipil ini terhambat setelah pada Jumat (16/12/2016), negosiasi antara Turki dan Rusia gagal mencapai kata sepakat.

Situasi ini langsung memicu kekerasan di lapangan dengan laporan milisi pro-pemerintah menembaki siapa saja yang mencoba meninggalkan kota.

Beruntung, kesepakatan baru akhirnya dicapai, sehingga ribuan warga sipil bisa dievakuasi ke wilayah sekitar Aleppo yang lebih aman.

Operasi evakuasi ini juga memungkinkan mereka yang terluka dipindakan dari kota-kota yang diduduki pemberontak seperti Foua dan Kefraya di Provinsi Idlib serta dua kota dekat perbatasan Lebanon, Madaya dan Zabadani.

Akibat penundaan evakuasi, ribuan anak-anak terancam mati kedinginan di jalanan kota Aleppo. Ratusan keluarga hanya bisa saling memeluk dan meringkuk untuk mengurangi rasa dingin di jalanan dan di puing-puing bangunan.

Di tengah suhu di bawah nol derajat Celcius, Sabtu (17/12/2016) malam, mereka harus menunggu digelarnya kembali proses evakuasi setelah sempat tertunda.

Para orangtua terpaksa membakar sampah atau apapun dan membungkus anak-anak mereka dengan menggunakan selimut.

Di tengah malam itu mereka dihadapkan pada dua pilihan sulit yaitu bertahan di tengah cuaca dingin untuk mempertahankan posisi antrean atau pergi mencari perlindungan tapi kehilangan posisi antrean.

Di tengah keputusasaan, warga Aleppo menyebar ucapan selamat tinggal lewat media sosial.

Kelambanan global dalam membantu warga di Suriah, membuat penderitaan mereka yang terjepit di tengah konflik semakin menyedihkan, demikian Deutche Welle, Rabu (14/12/2016).

Inilah situasi hari-hari terakhir di Aleppo, ketika pasukan pemerintah yang setia pada Presiden Suriah Basyar al Assad berhasil mengusir pemberontak keluar dari kawasan itu.

Di tempat penampungan bawah tanah dan rumah duka, para dokter memohon bantuan.

Sementara, kediaman warga dibom tanpa henti, terutama di distrik-distrik yang tersisa di bawah kendali pemberontak di Aleppo.

Warga pun mulai mem-posting ucapan selamat tinggal lewat media sosial dan dalam pesan-pesan yang beredar luas. Mereka seolah ingin memiliki kata akhir dalam perang tanpa ampun ini.

"Tidak ada tempat sekarang untuk pergi, ini adalah hari-hari terakhir," kata Abdulkafi Alhamdo, seorang guru bahasa Inggris yang mengkritik kekejaman pemerintah Presiden Bashar al-Assad.

Alhamdo berbagi pesan dan menceritakan situasi lewat media sosial video streaming Periscope. Ia menceritakan bagaimana pasukan pemerintah semakin mendekat.

"Di sini hujan, bunyi bom sedikit lebih tenang. Pasukan pemerintah Assad mungkin 300 meter jaraknya. Tidak bisa kemana-mana. Ini adalah hari-hari terakhir. Saya berharap kami bisa berbicara lagi dengan kalian di Periscope. Saya pikir kami telah berbagi banyak momen tentang Aleppo.”

Dengan menahan kepedihan, ia melanjutkan: " Saya tidak tahu harus bicara apa lagi… Saya harap Anda bisa melakukan sesuatu untuk rakyat Aleppo. Untuk putri saya, untuk anak-anak lainnya juga," katanya dalam video penuh rasa emosional.

"Saya tak percaya lagi PBB, atau masyarakat internasional. Sepertinya mereka puas kami terbunuh,” lanjutnya. Kami menghadapi situasi paling sulit, pembantaian paling mengerikan dalam sejarah baru-baru ini. Rusia tak ingin kami keluar dari sini hidup-hidup, mereka ingin kami mati. Setali tiga uang dengan keinginan Assad.”
 
(ind/kompas)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews