Ironi Negara Pemilik Cadangan Minyak Terbesar Dunia, Kini Uangnya Ditimbang

 Ironi Negara Pemilik Cadangan Minyak Terbesar Dunia, Kini Uangnya Ditimbang

Pedagang menimbang uang di negara kaya minyak Venezuela. (foto: ist/rima)

BATAMNEWS.CO.ID, Caracas - Venezuela adalah sebuah ironi. Negara itu menyandang predikat sebagai negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia sekaligus negara dengan perekonomian paling hancur di dunia saat ini. Negara yang dipimpin Presiden Presiden Nicholas Maduro itu sedang dilanda krisis ekonomi dan kekacauan parah. Uang di negara itu tidak berharga sama sekali bahkan sudah ditimbang untuk transaksi.

Sebagai salah satu negara Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), Venezuela punya cadangan minyak sebanyak 296,5 miliar barel di akhir tahun lalu, berdasarkan data statistik World Energy. Melebihi Arab Saudi yang punya cadangan minyak 265,4 miliar barel.

Krisis ekonomi parah yang melanda Venezuela menyebabkan nilai tukar bolivar terhadap dolar terjerumus. Pecahan terbesar bolivar, 100 kini hanya berharga 5 sen dolar Amerika Serikat atau setara Rp 675.

Menurut IMF, inflasi di Venezuela, yang mengalami resesi selama tiga tahun terakhir, akan mencapai 1.660 persen tahun depan.

Beberapa pemilik toko kini tak ingin membuang-buang waktu menghitung tumpukan uang yang dibawa pelanggannya menggunakan kantong bahkan ransel dan memilih untuk menimbangnya.

Pada 1 November, dibutuhkan 1.567 bolivar untuk mendapatkan 1 dolar. Namun pada 28 November, harga 1 dolar sudah meningkat sangat tajam menjadi 3.480 bolivar.

Penyebab hancurnya ekonomi Venezuela yaitu anjloknya harga minyak dunia pada tahun 2014. Presiden Nicolas Maduro meresponnya dengan memerintahkan bank untuk mencetak lebih banyak uang. Namun, mendevaluasi nilai tukar bolivar dan menyebabkan harga barang meroket.

Humberto Gonzalez, yang memiliki sebuah toko makanan, mengatakan dia kini menimbang uang pelanggannya yang ingin membeli keju.

"Ini menyedihkan," kata Gonzalez kepada Bloomberg. "Saat ini, saya merasa kalau keju lebih berharga dari uang."

Jesus Casique, direktur perusahaan konsultan, mengatakan, penimbangan uang yang kini terjadi di banyak tempat di Venezuela menandakan parahnya krisis finansial yang melanda negara tersebut. "Ketika mereka mulai menimbang uang, itu adalah tanda inflasi yang tak terkendali," kata Casique.  

Perekonomian Venezuela memang sangat bergantung pada penghasilan dari penjualan minyak. Seperempat penghasilan negara berasal dari minyak dan separuh anggaran pemerintah juga berasal dari hasil penjualan minyak. Minyak juga menyumbang 95 persen ekspor Venezuela.

Fenomena semacam ini, yang terlalu menggantungkan diri pada satu jenis ekspor menekan industri lainnya dan dikenal oleh para ekonom sebagai "Dutch Disease".

Di salah satu pemukiman kaya Caracas, pemilik toko kecil yang menjual koran, rokok dan snack mengatakan kepada The Washington Post bahwa setiap malam dia harus secara sembunyi-sembunyi membawa setumpuk uang penghasilannya sebanyak 100 ribu bolivar dengan pecahan 10, 20, 50 dan 100 menggunakan kantong plastik.
Venezuela merupakan salah satu negara dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia, dan membawa uang sebanyak itu di malam hari bukanlah sebuah pilihan.

"Seluruh Caracas tidak aman," kata pria 42 tahun, yang mengatakan bahwa harga rokok yang dijualnya meningkat hampir 10 kali lipat akibat krisis, dari sebelumnya 250 bolivar menjadi 2.000 bolivar.

Seperti dilansir Aljazirah, hiperinflasi di Venezuela menyebabkan negara ini kini tercatat sebagai negara dengan kinerja perekonomian terburuk di dunia.

Berdasarkan survei terbaru dari tiga universitas besar mengatakan, 87 persen dari responden di Venezuela mengklaim pendapatan mereka saat ini tak cukup lagi untuk membeli makanan. Dalam penelitian terhadap hampir 1.500 keluarga, ditemukan meningkatnya persentase orang yang melakukan diet karbohidrat. Bahkan, 12 persen dari responden mengatakan, mereka tak lagi makan tiga kali sehari.

Menurut kelompok pemantau, upah minimun kini hanya sekitar 20 persen dari biaya makan keluarga beranggotakan lima orang. Padahal, Maduro menyatakan telah meningkatkan upah minimum negara hingga 30 persen tahun lalu.

Bagi masyarakat, krisis ekonomi membuat mereka harus berjuang ekstra mendapat kebutuhan pokok dengan uang yang mereka miliki.

Salah seorang warga, Jhonny Mendez (58) mengatakan, antrean yang mengular seakan tanpa ujung di supermarket kerap menjadi pemandangan lumrah di sana.

Mendez mengatakan, antrean biasanya terjadi antara pukul lima pagi hingga tiga sore. Itu dilakukan hanya untuk mendapatkan beberapa kantong kecil tepung atau mentega. "Itu membuat seseorang ingin menangis," kata Mendez.

Tak hanya krisis pangan, negara berpenduduk 30 juta jiwa penduduk juga dilanda krisis energi. Pemerintah Presiden Maduro mengambil sejumlah langkah untuk merespons krisis itu. Mulai dari memotong jam kerja pegawai negeri, yakni hanya dua kali dalam sepekan, memajukan waktu Venezuela 30 menit lebih awal, hingga melakukan pemadaman listrik selama empat jam sehari.

Akibat krisis yang terus semakin dalam di Venezuela, penjarahan dan kerusuhan dilaporkan terjadi di beberapa wilayah di negara tersebut.

Kebijakan-kebijakan Presiden Maduro juga dianggap tidak tepat. Ia sudah memerintahkan seluruh pabrik-pabrik untuk tidak menutup operasi.  

Maduro mengatakan bahwa setiap pemilik pabrik yang menghentikan produksi di pabrik mereka sebaiknya meninggalkan negara ini, kalau tidak, akan diborgol dan dimasukkan ke penjara.

Untuk menahan kehancuran, negara di Amerika Latin itu terus berupaya menarik investasi dari luar negeri dalam rangka menggenjot produksi minyaknya. Tapi, belum ada hasilnya.

Ed Morse, Managing Director and Global Head of Commodities Research dari Citigroup Global Markets mengatakan, yang terpenting bukanlah cadangan minyak terbesar di dunia yang dimiliki Venezuela.

"Yang paling penting bukanlah ada di tanah dan bisa dijual, tapi seberapa cepat minyak itu bisa diproduksi. Jadi, selama tidak ada investasi yang masuk ke sektor hulu Venezuela, terutama dari perusahaan yang punya teknologi memproduksi minyak dalam jumlah besar, cadangan tersebut tidak akan berpengaruh sama sekali," ujarnya.

Venezuela pernah berjaya kala harga minyak per barel mencapai 100 dolar Amerika Serikat pada 2013 dan 2014. Kini jatuh ke level terendah selama 12 tahun yaitu pada Februari 2016 di angka 28,36 dolar per barel. Sepanjang tahun ini, harga minyak dunia selalu bertengger di bawah 50 dolar per barel.

Venezuela telah tertatih-tatih di ambang kebangkrutan dalam dua bulan terakhir. Negara ini hampir tak menghasilkan cukup uang dari ekspor minyak untuk membayar utang.

Tahun ini, Venezuela berutang lebih dari 10 miliar dolar AS. Hampir setengahnya jatuh tempo pada Oktober dan November.

Satu-satunya hal yang dapat mencegah kehancuran Venezuela adalah jika harga minyak segera naik atau salah satu sekutu pemerintah memberikan bantuan bail out pemerintah.
 
(ind)

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews