Editorial

Kenapa Bangga Membully?

Kenapa Bangga Membully?

Ilustrasi. (foto: ist/net)

Saya agak penasaran dengan kata "Bully" yang sering digunakan pengguna media sosial. Kata ini baru muncul belakangan seiring dengan maraknya pengguna medsos di Tanah Air.

Saya periksa di mesin pencari Google ternyata asal katanya adalah bahasa "impor" dari Barat yaitu Bullying. Artinya tindakan di mana satu orang atau lebih mencoba untuk menyakiti atau mengontrol orang lain dengan cara kekerasan.

Ada banyak jenis bullying. Bisa menyakiti dalam bentuk fisik, seperti memukul, mendorong, dan sebagainya. Dalam bentuk verbal adalah menghina, membentak, dan menggunakan kata-kata kasar.

Bullying dalam bentuk sosial seperti mengucilkan dan mengabaikan orang. Di zaman yang serba teknologi ini bullying bisa melalui gadget, dan media sosial yang disebut Cyberbullying. Bisa juga membully secara langsung.

Ternyata bully itu mengerikan. Itu bisa membuat orang lain tersakiti secara mental maupun fisik.

Tapi banyak yang bangga dapat mem-bully orang lain. Bangga melontarkan cacian dan fitnah. Lalu jadi bahan tertawaan di warung kopi. Terpingkal-pingkal di atas kesedihan orang lain.

Parahnya lagi, di Mbah Google ini ada petunjuk yang mengarahkan orang untuk makin sering membully orang lain.

Ada tag seperti: Cara Membully yang Baik, Cara Membully Teman, Cara Membalas Bully dan sebagainya.

Kalau dilihat dari topiknya, kegiatan membully ini tidak hanya dilakukan anak-anak muda yang mungkin kurang memahami etika, aturan atau undang-undang (UU) terkait dengan dunia komunikasi, tapi banyak juga dilakukan orang dewasa yang berpendidikan tinggi.

Yang jadi pertanyaan saya, kenapa mereka bangga bisa membully orang lain?

Puluhan tahun bangsa ini belajar berdemokrasi, bebas mengemukakan pendapat, bebas berbicara dan berserikat. Tetapi, bukan berarti bebas menghantam pihak lain dengan hujatan-hujatan seenak perut. Budaya demokrasi dan budaya bebas berpendapat tetap memiliki batasan. Ada batasan budaya, etika dan batasan sopan santun yang jadi tradisi. Ada juga batasan yang diatur melalui UU atau peraturan formal yang berlaku.

Seharusnya melalui medsos, masyarakat dapat menjaga kerukunan, memperkuat persatuan dan kesatuan. Dengan medsos, antar-individu, golongan dan suku, seharusnya mampu menjaga hubungan sosial yang positif. Bukannya karena medsos malah memperlebar jarak pergaulan, akibat status serta cuitan yang penuh penghinaan, caci-maki, cemoohan, dan fitnahan.

Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, guru-guru kita selalu menyebutkan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terkenal dengan sopan santun, keramahan, toleransi yang tinggi, suka menolong dan gotong royong. Kebiasaan dan tata krama ini selain diajarkan juga dicontohkan para orangtua.

Budaya inilah yang membuat orang asing menjadi kagum dan kemudian jadi pembicaraan di negaranya. Kita bangga atas label itu.

Tata krama itu misalnya, saat duduk di bus kota atau angkutan umum, kita diajarkan untuk memberikan bangku ke wanita hamil dan orangtua.

Saat menyapa orang yang lebih tua umurnya, selalu memakai sebutan Mas, Bang, Kakak, Pak atau Bu, tanpa memandang status sosial apalagi kekayaan.

Saat makan, kita diajarkan tidak berisik, tidak mengeluarkan suara atau bunyi yang membuat orang lain terganggu.

Saat orang lain berbicara, kita diajarkan mendengarkan, melihat dan memberikan respon. Bukannya sibuk mengutak- atik atau tersenyum sendiri ke arah smartphone. Tidak mendominasi dan tahu kapan saatnya memotong pembicaraan.

Kita juga dilarang berbicara sambil berkacak pinggang, menunjuk-nunjuk ke arah lawan bicara dan menghindari bergurau yang berlebihan. Apalagi berkata kasar.

Jika menelpon, selalu diawali dan diakhiri dengan salam seperti Assalamualaikum, selamat pagi, selamat sore.

Kita disarankan memakai kata tolong dan juga berterima kasih kepada siapapun. Misalnya dengan mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang sudah membantu, termasuk kepada bawahan atau asisten rumah tangga.

Kata guru, pengucapan kata "tolong" dan "terima kasih" sama sekali tidak membuat harga diri kita menjadi rusak namun makin menunjukkan kebesaran hati dan diri.

Semua tata krama atau etika itu sudah diajarkan sejak kecil. Sudah ditularkan sejak dini kepada kita. Para orangtua adalah model yang kita tiru.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir budaya itu seperti hilang.

Banyak orang yang "kehilangan" etika dan sopan santun terhadap terhadap teman sebaya, guru, orang yang lebih tua atau bahkan terhadap orangtua.

Budaya modern yang dibawa dan ditularkan oleh orang barat melalui internet, media sosial, televisi telah merusak karakter asli bangsa Indonesia yang pernah jadi kebanggaan itu.

Sedangkan pemberi contoh, dalam hal ini sebagian orangtua sudah mengabaikan pelajaran itu.
 
Padahal, budaya dan tata krama ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai orang Timur.

Ya, kita di Indonesia sering disebut sebagai orang Timur yang terkenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Orang-orang dari wilayah lain sangat suka dengan kepribadian bangsa Timur. Mengapa? Karena mereka senang dengan kepribadian bangsa Timur yang tidak individualis dan saling tolong menolong antar sesama suku, etnis dan agama. Berbanding terbalik dengan budaya orang Barat yang cenderung lebih buka-bukaan, individualis dan jauh dari kegiatan tolong menolong.

Apakah sekarang sopan santun itu masih ada? Atau budaya "keramat" ini hanya tinggal cerita untuk pengisi buku pelajaran sekolah?

Hal ini memang sepele dan topik yang kurang menarik bagi sebagian orang tapi hilangnya tata krama inilah yang akan membuat bangsa ini tercabik.

Dalam beberapa bulan terakhir, kita disuguhkan adegan yang membuat miris. Sesama bangsa, sesama saudara saling memaki dan menghujat secara langsung maupun melalui media sosial. Bully dibalas bully, ucapan kasar dibalas dengan kekerasan, kekerasan dibalas dengan kebrutalan. Rasa malu tidak ada lagi. Budaya toleransi antar suku, etnis dan agama seakan hilang.

Saya bukan anti teknologi tapi orang yang sedang belajar memanfaatkan arus teknologi. Kita tidak harus terbawa arus teknologi itu.

Teknologi sepatutnya dipergunakan dengan memperkokoh moral peradaban manusia yang tinggi. Bukan sebaliknya menggunakan kemajuan teknologi untuk menurunkan moral manusia menjadi pendengki, iri hati serta penuh kecongkakan seolah-olah paling benar dalam memperjuangkan sesuatu.

Indrawan
Pemimpin Redaksi Batamnews.co.id


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews