Setelah Tujuh Tahun Pembunuhan 32 Jurnalis Filipina

Setelah Tujuh Tahun Pembunuhan 32 Jurnalis Filipina

Arfi Bambang, Sekjend Aliansi Jurnalis Independen menyampaikan orasi solidaritas saat aksi peringatan tujuh tahun pembunuhan 58 jurnalis Filipinan di depan Istana Malacanang, Manila, Filipina, Rabu, 23 November 2016. (Foto: Independen.id)

BATAMNEWS.CO.ID, Malacanang - Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) turut bergabung dalam aksi solidaritas bersama puluhan jurnalis dan aktivis Filipina di Malacanang, Manila, Filipina, Rabu (23/11) waktu setempat. Mereka memprotes lambannya proses keadilan kasus pembantaian Maguindanao tujuh tahun lalu.

23 November menandai ulang tahun ketujuh dari pembantaian 58 orang, 32 orang dari di antaranya wartawan.  Mereka ditembak mati dan dimakamkan di puncak bukit di Kota Ampatuan di Provinsi Maguindanao oleh pengikut bersenjata dari klan Ampatuan.

Sekretaris AJI Indonesia Arfi Bambani dalam orasinya mengatakan kehadirannya dalam aksi tersebut untuk mengirimkan pesan solidaritas bahwa jurnalis adalah benteng dari kebebasan berekspresi. "Serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap kebebasan berekspresi, serangan terhadap rakyat yang mengeluhkan kekuasaan, serangan atas kebebasan," kata Arfi.

Arfi menegaskan jurnalisme bukanlah kejahatan. Jurnalisme adalah cara menyalurkan kebebasan, mengkritik kekuasaan dan memerangi korupsi. "Tiada perdamaian tanpa keadilan. Adili pembunuh jurnalis," demikian Arfi yang didampingi koordinator divisi advokasi AJI Iman D Nugroho, menyerukan.

Para jurnalis dari National Union of Journalists of the Philippines (NUJP) dan kerabat korban pembantaian Maguindanao berkumpul di Manila, menuntut keadilan dari peristiwa pembantaian ini. "Keadilan tujuh tahun setelah apa yang dijuluki kekerasan terkait pemilu terburuk di negara itu dan serangan paling mematikan pada pers," kata Sekretaris NUJP umum Dabet Panelo yang dilansir dari inquerer.net, media setempat.

Ia mengatakan pembantaian mengerikan ini sebagai manifestasi dari sistem busuk pemerintahan dan disposisi keadilan di Filipina. Sudah tujuh tahun, tetapi dengan jumlah terdakwa yang banyak dan kuasa klan Ampatuan masih memegang sampai hari ini, “Mereka bisa membeli keadilan dan selanjutnya menunda kasus ini. Itu sebabnya kita harus lebih waspada, terus berjuang, dan tidak pernah lupa," katanya.

Untuk saat ini, pengadilan belum memberikan keputusan tentang kasus pokok terdakwa, Andal Ampatuan Jr, dan kerabatnya. Dari 197 terdakwa, 114 telah ditangkap. Dari jumlah tersebut, 112 telah didakwa dan empat --termasuk klan patriark Andal Sr.-- meninggal dalam tahanan.

Danilo Araña Arao, Associate Professor Departemen Jurnalisme di UP Diliman berharap kemauan politik Presiden Rodrigo Duterte ini akan mempercepat kasus ini. Mengutip beberapa pendapat pengacara, ia mengatkan proses peradilan akan mengambil lebih dari satu seumur hidup untuk mencapai keadilan. 

Ia berharap Presiden Duterte memiliki kemauan politik untuk memastikan sidang maraton untuk mengadili mereka yang benar-benar bersalah dalam proses hukum. “Sehingga kerabat korban akhirnya akan berdamai, " kata Arao.

NUJP juga menyatakan alarm atas "kebangkitan" dari serangan terhadap wartawan muncul didorong kebencian terbuka dan permusuhan dari seorang pemimpin. Wartawan asing dan lokal yang vokal melaporkan kebijakan dan pernyataan kontroversial Presiden menjadi target, mendapat ancaman online dan pelecehan dari pendukung Duterte.

Tujuh tahun setelah Ampatuan, mengutip press release NUJP, pencari kebenaran akan berhadapan selalu berhadapan dengan bahaya dari orang-orang yang melihat pekerjaan jurnalis sebagai kutukan bagi mereka.

Tapi NUJP mencatat bahwa dalam masa ini bahwa media independenlah yang paling dibutuhkan masyarakat. Sehingga NUJP tegaskan tidak ada wartawan menghentikan pekerjaan mereka meskipun serangan terus-menerus.

sumber: independen.id

 

[snw]


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews