Sanggupkah Warga Batam Bayar UWTO?

Sanggupkah Warga Batam Bayar UWTO?

Fifi Hariani, akademisi di Batam (Foto: dok. pribadi)

KENAIKAN UWTO Batam yang baru-baru ini terjadi menjadi akumulasi dari kegagalan BP Batam dalam mengembalikan hak istimewa privilege Kota Batam. 

Tidak ada lagi istimewanya kota industri ini. Kenaikan ini sama sekali tanpa kajian yang tepat. Tidak tanggung-tanggung, kenaikan dalam PMK 148 bisa mencapai angka yang cukup fantastis.

Sebagai contoh zona komersial Nagoya dari yang semula Rp.93,250 ,- per meter per 30 tahun menjadi Rp 6,876,000 per meter per 30 tahun (74 kali lipat).

Ini adalah rekor yang luar biasa. Meskipun Kepala Kantor BP Batam telah mengeluarkan Perka No 19, tetap saja kenaikan terjadi hingga 500%. 

Hal ini menjadi momok memperburuk keadaan ekonomi. Tidak hanya investor yang menjadi korban, akan tetapi hal yang paling mendasar, kenaikan ini juga terjadi bagi masyarakat umum, kenaikan tarif UWTO ini akan membuat masyarakat tidak mampu membayar angka yang sangat fantastis tersebut.

Kenaikan yang luar biasa ini, tidak didasari suatu konsep kajian yang tepat. Tim penyusun kenaikan UWTO ini bukanlah orang-orang yang secara naturalistik mengerti dengan keadaan kota Batam.

Alih-alih pemerintah pusat ingin menggiatkan kembali investasi, akan tetapi yang terjadi justru kesenjangan dalam implementasinya. 

Masyarakat yang akan menanggung semua beban ini, dengan tidak mampu bertahannya investor berusaha di kota Batam, akan mengakibatkan PHK besar-besaran. Berdampak tingginya angka pengangguran. Tingkat kriminalitas akan meningkat. 

Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak akan berhenti sampai di sini, berjuang untuk hidup saja sudah sangat sulit, bagaimana mungkin masyarakat mampu membayar perpanjangan UWTO yang cukup spektakuler itu? 

Dan apa yang akan dilakukan oleh BP Batam ketika masyarakat tidak mampu membayar UWTO? Apakah BP Batam akan menyita tanah masyarakat yang tidak mampu bayar? atau BP Batam akan membeli rumah masyarakat? 

Ini akan menjadi konflik  sosial yang cukup besar, ketika tanah merupakan milik BP Batam dan rumah merupakan milik masyarakat. Hal ini masih menjadi teka teki hingga saat ini, karena BP Batam tidak memberikan jawaban atas persoalan tersebut. 

Masyarakat akan diperhadapkan dengan persoalan hukum tanpa dasar yang jelas, keadaan Batam seperti pasien yang sebenarnya hanya "batuk" akan tetapi obat yang pemerintah pusat berikan, justru obat “kanker" sehingga mengakibatkan  over dosis. 

Suka tidak suka pasien tersebut saat ini dalam kondisi kritis, dan butuh perjuangan untuk bisa kembali hidup. Sangat disayangkan kalau masyarakat harus menjadi korban akibat ketidak-hati-hatiannya pemerintah dalam mengeluarkan PMK 148 itu.

Beberapa kawasan perumahan akan segera jatuh tempo perpanjangan UWTO, bahkan ada yang sudah saatnya harus membayar perpanjangan UWTO, bagaimana mungkin masyarakat harus dibenturkan dengan pemerintahnya sendiri, hanya dikarenakan kebijakan yang tidak berpihak sama sekali kepada rakyat? 

Apa yang sebenarnya menjadi motivasi dari PMK 148 ini? Bukankah masih banyak hal yang dapat dilakukan BP Batam dalam mengelolah kota Batam ini?

Kalau hanya sekedar kemandirian anggaran, masih banyak hal yang dapat dilakukan, seperti rencana pembangunan pelabuhan kontainer Tanjung Sauh, pengelolaan Object vital lainnya, tanpa  harus mengorbankan masyarakat yang hidupnya sudah semakin sulit terhimpit dengan krisis ekonomi saat ini. 

Jika BP Batam siap mengelolah Batam secara bisnis, maka mutlak PMK 148/2016 dan Peraturan Kepala Kantor BP Batam No 19 tahun 2016, harus segera dicabut, dan Pemerintah Pusat harus memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini, sebelum konflik sosial semakin meluas, dan membuat Batam mundur menjadi kota yang jauh dari sebelumnya.

 

Fifi Hariani

Akademisi di Batam

 

[snw]

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews