Kenalkan Namaku Feby Kurnia, Aku ...

Kenalkan Namaku Feby Kurnia, Aku ...

Feby Kurnia semasa hidup. (Foto: Facebook/Batamnews)

PAGI itu, usai menunaikan salat subuh, aku bersiap ke kampus. Aku, Feby Kurnia, mahasiswi semester II jurusan Geofisika Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Sebelum berangkat, aku berpamitan pada penjaga indekos. Jarak antara kampus dengan indekos tidak terlalu jauh. Aku berangkat biasanya menggunakan sepeda motor. Sepeda motor itu aku datangkan langsung dari Batam, motor itu yang sering membawaku kemanapun pergi.

Hari itu, aktivitas perkuliahan baru dimulai pukul 07.30 WIB, namun sebelum dimulai aku sudah berada di kampus. Hal itu sudah menjadi kebiasaanku hampir setiap hari.

Setiba di kampus, aku langsung bergegas masuk ke ruang kelas 507, belum ada rekan-rekan mahasiswa yang datang, maklum jam baru menunjukkan pukul 06.00 WIB. Suasana masih sepi. Hanya tampak ada petugas kebersihan di ruang kelas 506 lantai 5.

 

Feby Kurnia (kiri) (Foto: Facebook)

 

Tidak ada firasat buruk yang terasa pagi itu, bahkan sejak malam. Begitu juga ibu dan ayah, tidak ada firasat yang mereka rasakan. Usai duduk sejenak di kelas aku beranjak ke toilet. Berjalan menuju toilet dengan suasana udara pagi yang masih segar, diiringi kicauan burung dari balik pepohonan. Aku semula tak menyadari seorang lelaki, petugas kebersihan, yang membersihkan ruang kelas 506 itu, ternyata mengikuti dari belakang.

Semula aku tidak manaruh curiga. Belakangan, entah setan apa yang telah merasuki pikirannya saat itu, tiba-tiba ia berbuat nekat. Ia mencekik leherku dengan kasar dan sekuat tenaga. Aku tak kuasa melawannya, tenaganya jauh lebih kuat. Pandanganku juga mulai gelap. Napasku tersengal.

Setelah membuatku tak berdaya, lalu pria itu membopong tubuhku ke dalam toilet paling ujung. Setelah itu ia menutup mukaku dengan jilbab yang aku kenakan dan bergegas pergi.

Ayah, lelaki itu telah mengambil kedua handphoneku yang ayah belikan. Ia juga mengambil kunci motorku diselipan saku celana, dan mengambil beserta dengan STNK. Dan juga nyawaku..

Entah setan apa lagi yang merasuki pikirannya. Ia melakukan itu padaku. Sementara aku sedang merajut mimpi untuk masa depan. Aku ingin sekali membuat ibu dan ayah bangga. Aku ingin membuat hidup lebih berarti dan berguna. Tapi semua itu sirna. Lelaki itu telah merenggut semuanya. 

 

Nurcahya Ningsih (tengah), ibu Feby, saat pemakaman Feby. (Foto: Iskandar/Batamnews)

 

Setelah mengambil handphone dan kunci motor lalu ia pun mengunciku di kamar mandi gelap gulita itu. Aku kesepian, kedinginan sendiri, tidak tahu lagi meminta tolong pada siapa. Aku teringat ibu, teringat ayah. Mereka yang telah bekerja keras untukku, sedangkan aku belum mampu membalas jasanya. Aku berdoa pada Tuhan agar ibu segera datang menjemputku.

Aku tau ibu dan ayah pasti sangat sedih, terpukul, dan kehilangan salah putri kebanggaannya. Tuhan tak pernah tidur. Ia memberi petunjuk nyata. Pesan singkat dari tetugas kebersihan itu telah membuka tabir semua. Ibu berfirasat sesuatu yang buruk telah terjadi kepadaku.

Ibu pun bergegas menyusul aku dari Batam ke Jogja. Ibu berangkat sendiri dari kediaman kami yang berada di Perumahan Nusa Jaya Blok A14 Nomor 13 Sei Panas, Batam, Kepulauan Riau. Sementara ayah harus menjaga rumah dan kedua adikku.

Empat hari terkurung di dalam toilet akhirnya aku bertemu ibu. Ibu sangat terpukul, sedih dan tidak henti-hentinya menangis. Cita-citaku telah kandas di Kota Gudeg itu..

Maafkan Feby, ibu dan ayah...

 

Ayah Feby, Yusni Sabar Siregar, memperlihatkan foto Feby. (Foto: Iskandar/Batamnews)

 

Sementara ayah mendengar kabar dari ibu hanya bisa berusaha tegar. Air matanya jatuh ke dalam, ayah berusaha tidak menangis di depan kedua adikku. Ayah sangat terpukul. Namun, itulah ayah, ia pekerja keras dan berusaha tegar. Ayahku seorang pekerja proyek, sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga.

Kami berasal dari keluarga sederhana. Mendapat kesempatan belajar di UGM merupakan impianku. Awalnya aku tidak begitu minat terhadap pelajaran fisika, namun minat itu timbul setelah mulai sekolah di SMK N 1 Batam. Dengan dukungan guru-guruku berhasil memenangkan berbagai perlombaan Olimpiade Fisika mewakili Indonesia di ajang Internasional.

Dengan memenangkan berbagai Olimpiade tersebut kemudian aku menjadi siswa satu-satunya di Batam untuk bisa belajar di UGM. Aku berhasil membuat ayah bangga, namun itu belum menjadi titik kebanggaan yang akan aku berikan pada kedua orangtua.

 

Prosesi pemakaman Feby Kurnia (Foto: Iskandar/Batamnews)

 

Namun Tuhan berkehendak lain. Aku "pulang" lebih cepat. Ibu dan ayah gagal melihatku wisuda. Aku diantar pulang dengan peti jenazah. Aku kembali ke rumah namun disambut dengan deraian air mata dan kesedihan.

Semua guru-guru saat di SMKN 1 Batam ikut menyambutku dengan linangan air mata. Mereka tak kuasa menahan tangis. Aku datang bersama keranda mayat.

Mereka kehilangan salah satu siswi terbaiknya. Ayah yang awalnya berusaha tegar tak kuasa menahan tangis. Maafkan aku, ayah dan ibu, aku belum bisa membahagiakan kalian. 

Selamat jalan Feby Kurnia.. 


ISKANDAR MOCHTAR

 

[snw]


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews